
The Fed Naikkan Bunga Tapi Dolar AS Melemah, Ini Sebabnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 June 2018 07:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan. Bahkan ada peluang The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi, sehingga menjadi empat kali sepanjang 2018. Namun sentimen ini belum bisa membawa dolar AS menguat.
Pada Kamis (14/6/2018) pukul 07:07 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) malah melemah sampai 0,25% ke 93,482. Padahal sentimen kenaikan suku bunga acuan (apalagi lebih agresif) tentu menjadi obat kuat bagi mata uang.
Dalam rapat edisi Juni 2018, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Bahkan ada kemungkinan The Fed akan dua kali lagi menaikkan suku bunga, sehingga kenaikan pada tahun ini menjadi empat kali.
Apa yang membuat dolar AS masih lesu?
Jawabannya adalah pekan ini merupakan waktu yang sibuk. Setelah The Fed menuntaskan rapat pada dini hari tadi waktu Indonesia, esok hari giliran Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) yang menggelar pertemuan.
Beberapa waktu terakhir sudah muncul spekulasi bahwa ECB akan mulai mengurangi stimulus moneter. Sejak krisis keuangan global, ECB memang terus memompa likuiditas ke pasar Benua Biru dengan rajin memborong surat-surat berharga. Hal ini dilakukan untuk merangsang gerak ekonomi.
Kini, sudah ada pertanda bahwa ekonomi Eropa mulai pulih. Pada Mei 2018, inflasi di zona euro sudah mencapai 1,9%. Semakin mendekati target ECB yaitu 2%.
Pertumbuhan ekonomi Uni Eropa juga diperkirakan membaik. Sebelumnya, Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 2,1%. Namun kemudian direvisi di atas menjadi 2,3%. Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 juga diperbarui dari 1,9% ke 2%.
Optimisme ini membuat ECB mulai mempertimbangkan untuk melakukan tapering, alias mengurangi dosis stimulus moneter. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan hasil pertemuan esok hari akan menentukan arah kebijakan moneter ke depan.
"Dewan akan mengkaji apakah perkembangan ekonomi terkini sudah memungkinkan untuk mulai mengurangi pembelian surat berharga. Ini adalah keputusan yang menentukan," tegas Praet, dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, fokus investor kini beralih ke Eropa. Pelaku pasar mulai memburu mata uang euro sebagai antisipasi jika ECB benar-benar mulai mengarahkan kebijakan moneternya ke bias ketat.
Pagi ini pukul 07:25 WIB, euro bergerak menguat terhadap berbagai mata uang utama. Di hadapan dolar AS, euro terapresiasi 0,05%. Melawan pondsterling Inggris, euro pun menguat 0,02%.
Penguatan euro menjadi biang keladi sulitnya dolar AS menguat. Untuk mendapatkan momentum penguatan, greenback sepertinya harus menunggu dinamika di seberang Samudera Atlantik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article BI: Pelemahan Rupiah di Tengah Corona Relatif Rendah
Pada Kamis (14/6/2018) pukul 07:07 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) malah melemah sampai 0,25% ke 93,482. Padahal sentimen kenaikan suku bunga acuan (apalagi lebih agresif) tentu menjadi obat kuat bagi mata uang.
Dalam rapat edisi Juni 2018, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2%. Bahkan ada kemungkinan The Fed akan dua kali lagi menaikkan suku bunga, sehingga kenaikan pada tahun ini menjadi empat kali.
Apa yang membuat dolar AS masih lesu?
Jawabannya adalah pekan ini merupakan waktu yang sibuk. Setelah The Fed menuntaskan rapat pada dini hari tadi waktu Indonesia, esok hari giliran Bank Sentral Uni Eropa (European Central Bank/ECB) yang menggelar pertemuan.
Beberapa waktu terakhir sudah muncul spekulasi bahwa ECB akan mulai mengurangi stimulus moneter. Sejak krisis keuangan global, ECB memang terus memompa likuiditas ke pasar Benua Biru dengan rajin memborong surat-surat berharga. Hal ini dilakukan untuk merangsang gerak ekonomi.
Kini, sudah ada pertanda bahwa ekonomi Eropa mulai pulih. Pada Mei 2018, inflasi di zona euro sudah mencapai 1,9%. Semakin mendekati target ECB yaitu 2%.
![]() |
Pertumbuhan ekonomi Uni Eropa juga diperkirakan membaik. Sebelumnya, Komisi Uni Eropa memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 2,1%. Namun kemudian direvisi di atas menjadi 2,3%. Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 juga diperbarui dari 1,9% ke 2%.
Optimisme ini membuat ECB mulai mempertimbangkan untuk melakukan tapering, alias mengurangi dosis stimulus moneter. Michael Praet, Kepala Ekonom ECB, menyatakan hasil pertemuan esok hari akan menentukan arah kebijakan moneter ke depan.
"Dewan akan mengkaji apakah perkembangan ekonomi terkini sudah memungkinkan untuk mulai mengurangi pembelian surat berharga. Ini adalah keputusan yang menentukan," tegas Praet, dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, fokus investor kini beralih ke Eropa. Pelaku pasar mulai memburu mata uang euro sebagai antisipasi jika ECB benar-benar mulai mengarahkan kebijakan moneternya ke bias ketat.
Pagi ini pukul 07:25 WIB, euro bergerak menguat terhadap berbagai mata uang utama. Di hadapan dolar AS, euro terapresiasi 0,05%. Melawan pondsterling Inggris, euro pun menguat 0,02%.
Penguatan euro menjadi biang keladi sulitnya dolar AS menguat. Untuk mendapatkan momentum penguatan, greenback sepertinya harus menunggu dinamika di seberang Samudera Atlantik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article BI: Pelemahan Rupiah di Tengah Corona Relatif Rendah
Most Popular