Sentimen Positif Domestik, Rupiah Jadi Terbaik Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 June 2018 09:51
Sentimen Positif Domestik, Rupiah Jadi Terbaik Kedua di Asia
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pagi ini bergerak menguat. Sentimen positif dari dalam negeri cukup untuk menopang penguatan rupiah. 

Pada Senin (4/6/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar berada di Rp 13.850. Rupiah menguat 0,29% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.  

Seiring perjalanan pasar, rupiah masih menguat meski apresiasinya tergerus. Pada pukul 09:23 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.867. Rupiah masih menguat, tetap tinggal 0,17%. 

Sementara sejumlah mata uang utama Asia cenderung melemah di hadapan greenback. Di antara mata uang yag berhasil menguat, rupiah berada di posisi kedua setelah rupee India. 

Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 09:28 WIB: 

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang109,64-0,10
Yuan China6,42-0,04
Won Korsel1.071,40-0,06
Dolar Taiwan29,82-0,06
Rupee India66,90+0,64
Dolar Singapura1,34+0,13
Peso Filipina52,53-0,07
Baht Thailand32,00+0,09
 
Rupiah mampu menguat di tengah dolar AS yang sejatinya juga terapresiasi. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama, pagi ini masih menguat 0,17%. 

Penguatan dolar AS dipicu oleh rilis data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam pada akhir pekan lalu. Pada Mei, angka pengangguran AS tercatat 3,8% atau terendah dalam 18 tahun terakhir. Angka pengangguran turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 3,9%. 

Sepanjang Mei, perekonomian AS menciptakan 223.000 lapangan kerja. Naik signifikan 40,25% dibandingkan bulan sebelumnya dan 43,87% dari periode yang sama pada 2017. 

Perkembangan ini menunjukkan pemulihan ekonomi di AS semakin terlihat, sehingga menaikkan ekspektasi inflasi. Investor (lagi-lagi) berpandangan bahwa ada kemungkinan The Federal Reserve/The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. 

Pasar memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018. Namun jika laju perekonomian AS semakin kencang, maka kebutuhan pengetatan moneter lebih lanjut pun dibutuhkan untuk mengerem inflasi. Akibatnya, bisa saja The Fed menaikkan dosis kenaikan suku bunga menjadi empat kali. Ekspektasi ini menjadi bensin bagi greenback.  

Selain itu, perkembangan situasi politik di Italia juga masih penuh ketidakpastian. Giuseppe Conte akhirnya terpilih sebagai Perdana Menteri Italia, didukung oleh koalisi Liga dan Gerakan Bintang Lima yang berhaluan sayap kanan. Ini membuat pemerintahan baru di Negeri Pizza sepertinya akan semakin condong ke kebijakan populis (pemotongan tarif pajak, menaikkan subsidi, dan sebagainya) dan anti Uni Eropa. 

Investor pun bertanya-tanya soal arah Italia ke depan. Di bawah komando pemerintahan yang sekarang, bukan tidak mungkin Italia akan mengikuti jejak Inggris, yaitu bercerai dengan Brussels.

Pembacaan ini tentu membuat pelaku pasar gugup.
 Dengan situasi ini, risk appetite investor pun berkurang. Pilihan yang paling realistis adalah terus memegang dolar AS (dengan harapan The Fed menaikkan suku bunga secara agresif). 

Namun, rupiah masih mampu menguat di tengah terpaan sentimen negatif eksternal tersebut. Setidaknya ada dua faktor yang mampu menyokong apresiasi rupiah. 

Pertama adalah dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 day reverse repo rate yang masih terasa. BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% pada 30 Mei lalu.  

Keputusan ini dianggap tepat, karena BI menjadi ahead the curve dalam mengantisipasi pertemuan The Fed pada 13 Juni mendatang. Pada pertemuan tersebut, kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 91,3%. 

Faktor kedua adalah investor menantikan rilis data inflasi domestik yang rencananya diumumkan hari ini pukul 11:00 WIB. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Mei secara MtM sebesar 0,25%. Sementara inflasi YoY diproyeksikan 3,3% dan inflasi inti YoY diramal 2,76%. 

Jika proyeksi ini terwujud, maka laju inflasi domestik masih relatif terkendali. Hingga separuh Ramadan, inflasi belum menunjukkan lonjakan yang berarti. Kini investor tinggal menantikan inflasi Juni, yang mungkin menjadi puncak karena merupakan paruh kedua Ramadan dan kemudian hari raya Idul Fitri. 

Laju inflasi yang masih 'jinak' bisa menjadi sentimen positif di pasar. Ketika inflasi terkendali, maka nilai rupiah menjadi tidak terlalu tergerus sehingga berinvestasi di instrumen berbasis mata uang ini masih menguntungkan.  

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular