
Mei 2018: Harga Minyak Brent Naik & Light Sweet Turun
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 June 2018 13:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan kemarin Kamis (31/05/2018), harga dua jenis minyak dunia bergerak berlainan arah. Brent masih mampu ditutup menguat 0,12% ke US$77,59/barel, sementara lightsweet malah terkoreksi tajam sebesar 1,71% ke US$. Dengan pergerakan itu, light sweet saat ini lebih murah sekitar US$11/barel dibandingkan brent, selisih terbesar sejak awal tahun 2015.
Bahkan, apabila dihitung dalam jangka waktu yang lebih panjang, yakni di sepanjang Bulan Mei 2018, light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) sudah terkoreksi 2,23%, sebaliknya brent yang menjadi acuan di Benua Eropa mampu membukukan penguatan sebesar 3,22%.
Beberapa waktu belakangan ini, investor memang dibuat galau oleh rencana Rusia dan Arab Saudi untuk mengurangi dosis pemangkasan produksi yang dilakukan sejak 2017, untuk mengompensasi penurunan pasokan minyak dari Venezuela dan Iran. Produksi minyak Venezuela memang sedang anjlok akibat krisis ekonomi-sosial-politik. Sementara Iran di ambang pengenaan sanksi ekonomi setelah AS keluar dari perjanjian nuklir.
Seharusnya perkembangan ini mampu menipiskan spread antara light sweet dan brent. Namun, kenyatannya berbicara lain, jaraknya malah makin melebar. Penyebabnya, arah kebijakan Arab Saudi dan Rusia ini masih belum pasti, setidaknya untuk saat ini.
Tak berselang lama dari kabar Rusia dan Saudi bersiap untuk menggenjot produksinya, tiba-tiba Bank Sentral Rusia menegaskan bahwa harga minyak yang rendah akan mengancam ekonomi Negeri Beruang Merah.
"Faktor penting dalam perekonomian Rusia adalah risiko penurunan harga minyak. Misalnya karena peningkatan produksi di AS," sebut pernyataan Bank Sentral Rusia, seperti dilansir Reuters.
Kemudian, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga menyatakan akan tetap melanjutkan kesepakatan pemangkasan produksi minyak mentah hingga akhir tahun ini, namun siap untuk melakukan penyesuaian secara bertahap untuk mengompensasi terjadinya kelangkaan pasokan, menurut sumber yang familiar dengan Arab Saudi, seperti dikutip dari CNBC International.
Akibat dua sentimen tersebut, harga minyak pun kompak terkerek naik hingga 2% lebih, pada perdagangan hari Rabu (30/05/2018), setelah beberapa hari sebelumnya terkoreksi cukup dalam. Nampaknya kepastian dari isu ini baru akan muncul pada pertemuan rutin OPEC di Vienna, pada 22 Juni mendatang.
Di sisi lain, produksi minyak mentah mingguan AS kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah, dengan mencatatkan volume produksi sebesar 10,769 barel per hari (bph) di sepanjang pekan lalu, melansir data dari US Energy Information Administration (EIA) pada hari Kamis (31/05/2018). Capaian itu meningkat 15% lebih secara year-on-year (YoY).
Rekor tertinggi secara bulanan juga dipecahkan pada Bulan Maret 2018 lalu, di mana produksi minyak mentah negeri adidaya ini bertambah 215.000 bph menjadi 10,47 juta bph.
"Hal ini tidak dapat dihindari. Produksi (minyak mentah) sudah tumbuh terlalu cepat untuk dapat diserap oleh infrastruktur," jelas Vikas Dwivedi, strategis minyak dan gas global di Macquarie, Houston, seperti dikutip dari The Star Online.
Situasi ini mampu melahap habis sentimen positif yang muncul dari penurunan cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam sebesar 3,6 juta barel dalam sepekan hingga tanggal 25 Mei 2018, lebih rendah dari konsensus pasar yang mengestimasikan penurunan sebesar 525.000 barel.
"Jatuhnya cadangan (minyak mentah) di AS teralihkan oleh lonjakan produksi (minyak mentah) AS ke rekor tertinggi. Dengan pasar masih cenderung memperhatikan perkembangan isu pasokan OPEC, hal ini telah mendorong spread Brent-WTI (West Texas Intermediate/light sweet) ke mendekati US$11/barel, level tertingginya sejak tiga tahun lalu," ucap ANZ di catatan risetnya, seperti dikutip dari CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Harga Minyak Dunia Belum Stabil saat Pasokan Arab Saudi Turun
Bahkan, apabila dihitung dalam jangka waktu yang lebih panjang, yakni di sepanjang Bulan Mei 2018, light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) sudah terkoreksi 2,23%, sebaliknya brent yang menjadi acuan di Benua Eropa mampu membukukan penguatan sebesar 3,22%.
![]() |
Beberapa waktu belakangan ini, investor memang dibuat galau oleh rencana Rusia dan Arab Saudi untuk mengurangi dosis pemangkasan produksi yang dilakukan sejak 2017, untuk mengompensasi penurunan pasokan minyak dari Venezuela dan Iran. Produksi minyak Venezuela memang sedang anjlok akibat krisis ekonomi-sosial-politik. Sementara Iran di ambang pengenaan sanksi ekonomi setelah AS keluar dari perjanjian nuklir.
Tak berselang lama dari kabar Rusia dan Saudi bersiap untuk menggenjot produksinya, tiba-tiba Bank Sentral Rusia menegaskan bahwa harga minyak yang rendah akan mengancam ekonomi Negeri Beruang Merah.
"Faktor penting dalam perekonomian Rusia adalah risiko penurunan harga minyak. Misalnya karena peningkatan produksi di AS," sebut pernyataan Bank Sentral Rusia, seperti dilansir Reuters.
Kemudian, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga menyatakan akan tetap melanjutkan kesepakatan pemangkasan produksi minyak mentah hingga akhir tahun ini, namun siap untuk melakukan penyesuaian secara bertahap untuk mengompensasi terjadinya kelangkaan pasokan, menurut sumber yang familiar dengan Arab Saudi, seperti dikutip dari CNBC International.
Akibat dua sentimen tersebut, harga minyak pun kompak terkerek naik hingga 2% lebih, pada perdagangan hari Rabu (30/05/2018), setelah beberapa hari sebelumnya terkoreksi cukup dalam. Nampaknya kepastian dari isu ini baru akan muncul pada pertemuan rutin OPEC di Vienna, pada 22 Juni mendatang.
Di sisi lain, produksi minyak mentah mingguan AS kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah, dengan mencatatkan volume produksi sebesar 10,769 barel per hari (bph) di sepanjang pekan lalu, melansir data dari US Energy Information Administration (EIA) pada hari Kamis (31/05/2018). Capaian itu meningkat 15% lebih secara year-on-year (YoY).
![]() |
Rekor tertinggi secara bulanan juga dipecahkan pada Bulan Maret 2018 lalu, di mana produksi minyak mentah negeri adidaya ini bertambah 215.000 bph menjadi 10,47 juta bph.
"Hal ini tidak dapat dihindari. Produksi (minyak mentah) sudah tumbuh terlalu cepat untuk dapat diserap oleh infrastruktur," jelas Vikas Dwivedi, strategis minyak dan gas global di Macquarie, Houston, seperti dikutip dari The Star Online.
Situasi ini mampu melahap habis sentimen positif yang muncul dari penurunan cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam sebesar 3,6 juta barel dalam sepekan hingga tanggal 25 Mei 2018, lebih rendah dari konsensus pasar yang mengestimasikan penurunan sebesar 525.000 barel.
"Jatuhnya cadangan (minyak mentah) di AS teralihkan oleh lonjakan produksi (minyak mentah) AS ke rekor tertinggi. Dengan pasar masih cenderung memperhatikan perkembangan isu pasokan OPEC, hal ini telah mendorong spread Brent-WTI (West Texas Intermediate/light sweet) ke mendekati US$11/barel, level tertingginya sejak tiga tahun lalu," ucap ANZ di catatan risetnya, seperti dikutip dari CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Harga Minyak Dunia Belum Stabil saat Pasokan Arab Saudi Turun
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular