
Kenaikan Suku Bunga Acuan Direspon Negatif, IHSG Jatuh 0,97%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 May 2018 16:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,94% pada perdagangan hari ini ke level 6.011,06. Pelemahan IHSG senada dengan bursa saham utama Kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei melemah 1,52%, indeks Kospi melemah 1,96%, indeks Strait Times melemah 2,08%, indeks Shanghai melemah 2,53%, dan indeks Hang Seng melemah 1,4%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 10,4 triliun dengan volume sebanyak 11,2 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 530.754 kali.
Dari dalam negeri, kalangan pelaku pasar saham merespon negatif kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) yang diumumkan hari ini. Pasca Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan kenaikan 7 days reverse repo rate sebesar 25bps menjadi 4,75%, IHSG terus bergerak turun sampai akhirnya berakhir di teritori negatif. Padahal sebelum pengumuman tersebut, IHSG bertengger di level 6.083,34 (+0,25% dibandingkan penutupan hari Senin, 28/5/2018).
Kenaikan suku bunga acuan dianggap berpotensi memperlambat laju perekonomian Indonesia, seiring dengan suku bunga kredit yang sangat mungkin dinaikkan oleh perbankan. Ketika suku bunga kredit rendah saja, penyalurannya sudah terbilang lemah; BI mencatat pertumbuhan kredit perbankan hanya mencapai 8,5% YoY per akhir Maret 2018, lebih rendah dibandingkan posisi Maret 2017 sebesar 9,2% YoY. Realisasi tersebut juga jauh di bawah target BI untuk tahun ini yang berada di kisaran dua digit.
Kenaikan suku bunga acuan lantas menjadi kabar buruk bagi bursa saham, khususnya bagi emiten-emiten perbankan. Pada perdagangan hari ini, sektor jasa keuangan melemah 1,12%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi koreksi IHSG.
Saham-saham sektor jasa keuangan yang dilepas investor diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-3,38%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,69%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,66%), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (-2,16%).
Lebih lanjut, objektif dari kenaikan suku bunga acuan yaitu menstabilkan pergerakan rupiah juga belum benar-benar terbukti. Sesaat setelah kenaikan suku bunga acuan diumumkan, rupiah justru melemah 0,04% ke level Rp 13.990/dolar AS. Padahal sebelum kenaikan suku bunga acuan diumumkan, rupiah bertengger di level Rp 13.975/dolar AS.
Sisi positifnya, rupiah ditutup stagnan pada akhir perdgangan di level Rp 13.985/dolar AS. Namun, arah pergerakan rupiah yang belum jelas berhasil mendorong investor asing untuk melakukan jual bersih di pasar saham senilai Rp 212,7 miliar. Padahal sebelum suku bunga acuan dinaikkan, investor asing masih mencatatkan beli bersih sekitar Rp 100 miliar.
Saham-saham yang paling banyak dilepas investor asing diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 315,62 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 41,19 miliar), PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (Rp 32,14 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 27,61 miliar), dan PT XL Axiata Tbk/EXCL (Rp 23,15 miliar).
Dari sisi eksternal, sentimen juga tidak mendukung bagi IHSG untuk menguat. Pertama, adanya krisis politik di Italia. Kini, masyarakat wilayah Italia dihadapkan pada pemilu dadakan (snap election) pasca Presiden Sergio Mattarella menolak nominasi Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi yang diajukan oleh M5S dan Lega party. Mattarella menolak nominasi Savona karena sempat mengancam akan membawa Italia keluar dari Uni Eropa. Akibatnya, pemerintahan pun menjadi tak bisa dibentuk.
Mattarella lalu menunjuk mantan pejabat International Monetary Fund (IMF) Carlo Cottarelli sebagai Perdana Menteri sementara. Ia ditugaskan untuk merencakan pemilu dan meloloskan anggaran negara.
Masih ingat di pikiran kita bagaimana keluarnya Inggris dari Uni Eropa memberikan tekanan yang begitu besar bagi pasar keuangan dunia. Kini, negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di Zona Eropa berpotensi mengikuti jejak Inggris.
Kemudian, hubungan antara AS dan China dalam hal perdagangan yang kembali memanas juga ikut membebani bursa saham Asia. Walaupun sempat mengatakan bahwa bea masuk tak akan diberlakukan kala perundingan dengan China dilakukan, Gedung Putih pada akhirnya tetap bersikeras mengenakan bea masuk baru bagi senilai US$ 50 miliar produk ekspor asal China. Kebijakan ini dimaksudkan guna menghukum Negeri Panda karena sering mengambil paksa teknologi dari perusahaan-perusahaan asal AS yang berinvetasi disana.
Daftar produk-produk yang akan dikenakan bea masuk senilai 25% ini akan dirilis paling lambat pada 15 Juni. Tak hanya mengenakan bea masuk baru, pemerintahan AS juga akan membatasi investasi China pada sektor-sektor teknologi yang dinilai sensitif.
Kebijakan AS ini tentu semakin menyulitkan kedua negara untuk mencapai titik temu dalam hal perdagangan. Perang dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia bisa benar-benar terjadi nantinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article BI Naikkan Suku Bunga Acuan, IHSG Malah Turun
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 10,4 triliun dengan volume sebanyak 11,2 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 530.754 kali.
Dari dalam negeri, kalangan pelaku pasar saham merespon negatif kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) yang diumumkan hari ini. Pasca Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan kenaikan 7 days reverse repo rate sebesar 25bps menjadi 4,75%, IHSG terus bergerak turun sampai akhirnya berakhir di teritori negatif. Padahal sebelum pengumuman tersebut, IHSG bertengger di level 6.083,34 (+0,25% dibandingkan penutupan hari Senin, 28/5/2018).
Kenaikan suku bunga acuan lantas menjadi kabar buruk bagi bursa saham, khususnya bagi emiten-emiten perbankan. Pada perdagangan hari ini, sektor jasa keuangan melemah 1,12%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi koreksi IHSG.
Saham-saham sektor jasa keuangan yang dilepas investor diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-3,38%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,69%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,66%), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (-2,16%).
Lebih lanjut, objektif dari kenaikan suku bunga acuan yaitu menstabilkan pergerakan rupiah juga belum benar-benar terbukti. Sesaat setelah kenaikan suku bunga acuan diumumkan, rupiah justru melemah 0,04% ke level Rp 13.990/dolar AS. Padahal sebelum kenaikan suku bunga acuan diumumkan, rupiah bertengger di level Rp 13.975/dolar AS.
Sisi positifnya, rupiah ditutup stagnan pada akhir perdgangan di level Rp 13.985/dolar AS. Namun, arah pergerakan rupiah yang belum jelas berhasil mendorong investor asing untuk melakukan jual bersih di pasar saham senilai Rp 212,7 miliar. Padahal sebelum suku bunga acuan dinaikkan, investor asing masih mencatatkan beli bersih sekitar Rp 100 miliar.
Saham-saham yang paling banyak dilepas investor asing diantaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 315,62 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 41,19 miliar), PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (Rp 32,14 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 27,61 miliar), dan PT XL Axiata Tbk/EXCL (Rp 23,15 miliar).
Dari sisi eksternal, sentimen juga tidak mendukung bagi IHSG untuk menguat. Pertama, adanya krisis politik di Italia. Kini, masyarakat wilayah Italia dihadapkan pada pemilu dadakan (snap election) pasca Presiden Sergio Mattarella menolak nominasi Paolo Savona sebagai Menteri Ekonomi yang diajukan oleh M5S dan Lega party. Mattarella menolak nominasi Savona karena sempat mengancam akan membawa Italia keluar dari Uni Eropa. Akibatnya, pemerintahan pun menjadi tak bisa dibentuk.
Mattarella lalu menunjuk mantan pejabat International Monetary Fund (IMF) Carlo Cottarelli sebagai Perdana Menteri sementara. Ia ditugaskan untuk merencakan pemilu dan meloloskan anggaran negara.
Masih ingat di pikiran kita bagaimana keluarnya Inggris dari Uni Eropa memberikan tekanan yang begitu besar bagi pasar keuangan dunia. Kini, negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di Zona Eropa berpotensi mengikuti jejak Inggris.
Kemudian, hubungan antara AS dan China dalam hal perdagangan yang kembali memanas juga ikut membebani bursa saham Asia. Walaupun sempat mengatakan bahwa bea masuk tak akan diberlakukan kala perundingan dengan China dilakukan, Gedung Putih pada akhirnya tetap bersikeras mengenakan bea masuk baru bagi senilai US$ 50 miliar produk ekspor asal China. Kebijakan ini dimaksudkan guna menghukum Negeri Panda karena sering mengambil paksa teknologi dari perusahaan-perusahaan asal AS yang berinvetasi disana.
Daftar produk-produk yang akan dikenakan bea masuk senilai 25% ini akan dirilis paling lambat pada 15 Juni. Tak hanya mengenakan bea masuk baru, pemerintahan AS juga akan membatasi investasi China pada sektor-sektor teknologi yang dinilai sensitif.
Kebijakan AS ini tentu semakin menyulitkan kedua negara untuk mencapai titik temu dalam hal perdagangan. Perang dagang antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia bisa benar-benar terjadi nantinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(roy) Next Article BI Naikkan Suku Bunga Acuan, IHSG Malah Turun
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular