Harga Batu Bara Terkoreksi Tipis ke US$106,85/ton

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
30 May 2018 12:47
Harga batu bara ICE Newcastle kontrak berjangka ditutup melemah 0,47% ke US$106,85/ton pada perdagangan hari Selasa (29/5/2018).
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC IndonesiaHarga batu bara ICE Newcastle kontrak berjangka ditutup melemah 0,47% ke US$106,85/ton pada perdagangan hari Selasa (29/5/2018), didorong oleh perkembangan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.

Sang batu hitam tidak mampu melanjutkan momen  penguatan sebesar 1,8% pada perdagangan hari Senin (28/5/2018), namun masih berada level tertingginya sejak awal Januari 2018. Catatan lainnya, hingga perdagangan kemarin, rata-rata harga batu bara sepanjang bulan Mei 2018 sudah mencapai US$103,24/ton, naik cukup pesat dari rata-rata bulan April 2018 sebesar US$93,61/ton.

Harga Batu Bara Terkoreksi Tipis ke US$106,85/tonFoto: CNBC Indonesia/Raditya Hanung


Kemarin, pergerakan harga batu bara mendapatkan angin segar dari stok batu bara yang semakin ketat di Negeri Tirai Bambu, khususnya di sektor pembangkitan listrik. Mengutip data China Coal Resource, stok batu bara per 25 Mei 2018 di 6 pembangkit listrik utama China menurun ke kapasitas 16 hari penggunaan, atau setara dengan 12,41 juta ton. Angka itu merupakan level terendah sejak 9 Februari 2018 lalu.

Stok yang semakin menipis tersebut dipicu oleh penggunaan batu bara di 6 pembangkit listrik utama China yang sudah meningkat 26% secara year-on-year (YoY), per hari Jumat (25/05/2018) lalu. Hal ini disebabkan oleh datangnya periode heatwave (cuaca panas) yang lebih panas dari biasanya di dataran China, sehingga meningkatkan intensitas penggunaan listrik untuk alat pendingin ruangan.

"Konsumsi batu bara harian dari 6 pembangkit listrik terbesar (di China) saat ini berada di angka 800.000 ton, pada pekan ini. Angka itu sangatlah tinggi, dan cenderung tidak biasa, untuk bulan ini," kata salah seorang trader yang berbasis di Beijing, seperti dikutip dari Reuters, pada hari Selasa (22/5/2018).

Sebagai catatan, pemerintah China sebenarnya sudah menyusun rencana untuk menstabilkan harga batu bara domestik dan memperkuat pasokan. Pada akhir pekan lalu, lembaga perencanaan China bahkan telah mengadakan pertemuan dengan para penambang, produsen listrik, dan industri di China, untuk mendiskusikan kondisi dan pasokan batu bara, sekaligus rencana untuk memangkas harga.

Meski demikian, pertemuan tersebut nampaknya belum memunculkan langkah-langkah nyata untuk mengendalikan harga batu bara domestik di China. Terlebih, dengan tingkat operasi pembangkit listrik yang sangat tinggi, sejumlah analis juga mengkhawatirkan langkanya pasokan batu bara akan bertahan lama di China.

"Kita meragukan intervensi pemerintah (China) akan efektif, karena bagaimanapun caranya mereka meregulasi pasokan, akan sulit untuk menekan permintaan," menurut analis dari Argonaut, seperti dilansir dari Reuters (29/05/2018).

Akan tetapi, penguatan harga batu bara tidak berlanjut pada hari ini. Tekanan bagi harga sang batu hitam nampaknya datang dari aroma perang dagang AS-China yang kembali semerbak. Pernyataan dari Gedung Putih menyebutkan bahwa Washington tetap berencana mengenakan bea masuk terhadap produk-produk China yang nilainya mencapai US$ 50 miliar.

Selain itu, pemerintahan Presiden Trump juga akan memperketat investasi yang berasal dari Negeri Tirai Bambu. Detil dari tarif bea masuk akan diumumkan pada 15 Juni, sementara kebijakan kontrol terhadap investasi asal China akan dirilis pada 30 Juni.

Tidak hanya itu, AS juga akan tetap melaporkan China ke World Trade Organization (WTO) atas tuduhan pencurian ide dan teknologi. Duta Besar AS untuk WTO Dennis Shea mengatakan bahwa transfer teknologi secara paksa seringkali terjadi kala perusahaan asing mencoba untuk berinvestasi di China, terutama ketika bermitra dengan perusahaan milik atau yang dikendalikan oleh negara.

"Ini bukan hukum. China melalui regulasinya menghalalkan pemaksaan ini," tegas Shea, seperti dikutip dari Reuters.

Sementara Duta Besar China untuk WTO Zhang Xiangchen menyampaikan sanggahan bahwa transfer teknologi secara paksa itu tidak ada. Bahkan dia menyebut langkah AS sebagai bentuk praduga bersalah.

"Tidak ada pemaksaan dalam alih teknologi di China. Faktanya adalah, tidak ada regulasi yang mengharuskan alih teknologi oleh perusahaan asing," tutur Zhang.

Perkembangan ini bisa memperkeruh suasana AS-China yang sebenarnya tengah melakukan negosiasi perdagangan. Jika masing-masing pihak masih saling serang, maka bukan tidak mungkin kesepakatan tersebut akan gagal, dan berujung pada perang dagang lanjutan yaitu berbalas mengenakan bea masuk.

Perang dagang merupakan sentimen besar yang sangat diwaspadai oleh pasar. Pasalnya, ketegangan perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia tersebut diyakini akan menganggu arus perdagangan global, termasuk perdagangan komoditas seperti batu bara.


TIM RISET CNBC INDONESIA

(hps) Next Article Terpukul Pandemi, Harga Batu Bara Bisa di Bawah USD 50/ton

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular