
Harga Minyak Terjun Bebas, Respons Pertemuan Saudi-Rusia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 May 2018 08:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Juli 2018 terjun bebas sebesar 3,35% ke level US$76,15/barel hingga pukul 4.00 WIB dini hari ini. Sementara itu, light sweet kontrak pengiriman Juli 2018 malah terkoreksi lebih parah sebesar 4,5% ke US$67,50/barel.
Dengan pergerakan ini, lightsweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) menuju pelemahan mingguan sebesar 5,30%, sementara brent yang menjadi acuan di Eropa juga akan terkoreksi sebesar 3,00% dalam sepekan ini.
Sang emas hitam mendapatkan tekanan hebat dari Rusia dan Arab Saudi yang berencana untuk melakukan pelonggaran terhadap program pemangkasan produksi minyaknya.
Seperti diketahui, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dipimpin oleh Arab Saudi, dan negara produsen non-OPEC yang dimotori Rusia, sepakat melakukan pembatasan produksi sejak awal 2017 lalu.
Lebih lanjut, dalam kesepakatan awal tahun ini, OPEC dan Rusia setuju untuk melanjutkan pemotongan produksi sebesar 1,8 juta bph hingga akhir tahun. Wacana untuk diperpanjang hingga 2019 bahkan sempat muncul setelahnya. Langkah negara-negara lumbung minyak tersebut diambil untuk mengerek harga minyak yang rendah dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, kini arah angin mulai berhembus ke arah lain. Kemarin, Menteri Energi Rusia Alexander Novak bertemu dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih di St. Petesburg, dalam rangka membahas rencana mengakhiri kesepakatan itu secara bertahap.
Tujuannya adalah untuk mengompensasi jatuhnya produksi di Venezuela serta potensi disrupsi ekspor minyak dari Iran.
Kedua Menteri tersebut merencanakan peningkatan pasokan sebesar 1 juta barel bph untuk mendinginkan harga minyak yang melambung. Al-Falih secara khusus menyampaikan kekhawatirannya terkait dampak harga minyak yang melebihi tingkat US$80/barel terhadap negara konsumen seperti China dan India, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (26/5/2018).
Kekhawatiran tentang semakin ketatnya pasokan global memang menjadi energi positif untuk penguatan minyak dalam beberapa waktu terakhir. Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi-sosial-politik yang terbukti telah berdampak kepada produksi minyak.
Selain itu, Caracas juga berada di ambang pengenaan sanksi ekonomi setelah kembali terpilihnya Presiden Nicolas Maduro untuk masa jabatan 6 tahun ke depan. Maduro memang dianggap ancaman oleh negara-negara barat.
Seperti halnya Venezuela, Iran juga kemungkinan akan dikenai sanksi oleh AS atas tuduhan pengayaan uranium. Ini karena AS di bawah pimpinan presiden Donald Trump menyatakan keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dibuat pada masa pemerintahan Barack Obama 3 tahun silam.
Teranyar, National Oil Corp pada hari Rabu (23/5/2018) waktu setempat melaporkan bahwa anggota OPEC lainnya, Libya, memangkas produksi minyaknya sebanyak 120.000 bph seiring cuaca panas yang ekstrim menganggu proses produksi.
Sebagai tambahan, sentimen lainnya yang memperparah kejatuhan harga minyak juga datang dari Baker Hughes yang melaporkan bertambahnya sumur pengeboran minyak AS sejumlah 15 unit dalam sepekan terakhir. Hal ini lantas menambah jumlah sumur aktif di Negeri Paman Sam menjadi 859, yang merupakan level tertingginya sejak Maret 2015.
Jumlah sumur aktif yang meningkat tersebut menjadi indikasi masih kuatnya produksi minyak mentah AS ke depannya. Saat ini produksi minyak mentah mingguan AS masih tercatat amat perkasa dengan berada di angka 10,725 juta bph, atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut.
Catatan ini lantas hanya terlampau sedikit saja dari Rusia yang menyandang status sebagai produsen minyak terbesar dunia. Negara yang bakal menjadi tuan rumah di Piala Dunia 2018 itu tercatat memproduksi minyak mentah dalam kisaran 11 juta bph.
(dru) Next Article Sempat Tertekan, Harga Minyak Pelan-pelan Naik
Dengan pergerakan ini, lightsweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) menuju pelemahan mingguan sebesar 5,30%, sementara brent yang menjadi acuan di Eropa juga akan terkoreksi sebesar 3,00% dalam sepekan ini.
Sang emas hitam mendapatkan tekanan hebat dari Rusia dan Arab Saudi yang berencana untuk melakukan pelonggaran terhadap program pemangkasan produksi minyaknya.
![]() |
Seperti diketahui, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dipimpin oleh Arab Saudi, dan negara produsen non-OPEC yang dimotori Rusia, sepakat melakukan pembatasan produksi sejak awal 2017 lalu.
Lebih lanjut, dalam kesepakatan awal tahun ini, OPEC dan Rusia setuju untuk melanjutkan pemotongan produksi sebesar 1,8 juta bph hingga akhir tahun. Wacana untuk diperpanjang hingga 2019 bahkan sempat muncul setelahnya. Langkah negara-negara lumbung minyak tersebut diambil untuk mengerek harga minyak yang rendah dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, kini arah angin mulai berhembus ke arah lain. Kemarin, Menteri Energi Rusia Alexander Novak bertemu dengan Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al-Falih di St. Petesburg, dalam rangka membahas rencana mengakhiri kesepakatan itu secara bertahap.
Tujuannya adalah untuk mengompensasi jatuhnya produksi di Venezuela serta potensi disrupsi ekspor minyak dari Iran.
Kedua Menteri tersebut merencanakan peningkatan pasokan sebesar 1 juta barel bph untuk mendinginkan harga minyak yang melambung. Al-Falih secara khusus menyampaikan kekhawatirannya terkait dampak harga minyak yang melebihi tingkat US$80/barel terhadap negara konsumen seperti China dan India, seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (26/5/2018).
Kekhawatiran tentang semakin ketatnya pasokan global memang menjadi energi positif untuk penguatan minyak dalam beberapa waktu terakhir. Venezuela tengah menghadapi krisis ekonomi-sosial-politik yang terbukti telah berdampak kepada produksi minyak.
Selain itu, Caracas juga berada di ambang pengenaan sanksi ekonomi setelah kembali terpilihnya Presiden Nicolas Maduro untuk masa jabatan 6 tahun ke depan. Maduro memang dianggap ancaman oleh negara-negara barat.
Seperti halnya Venezuela, Iran juga kemungkinan akan dikenai sanksi oleh AS atas tuduhan pengayaan uranium. Ini karena AS di bawah pimpinan presiden Donald Trump menyatakan keluar dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dibuat pada masa pemerintahan Barack Obama 3 tahun silam.
Teranyar, National Oil Corp pada hari Rabu (23/5/2018) waktu setempat melaporkan bahwa anggota OPEC lainnya, Libya, memangkas produksi minyaknya sebanyak 120.000 bph seiring cuaca panas yang ekstrim menganggu proses produksi.
Sebagai tambahan, sentimen lainnya yang memperparah kejatuhan harga minyak juga datang dari Baker Hughes yang melaporkan bertambahnya sumur pengeboran minyak AS sejumlah 15 unit dalam sepekan terakhir. Hal ini lantas menambah jumlah sumur aktif di Negeri Paman Sam menjadi 859, yang merupakan level tertingginya sejak Maret 2015.
Jumlah sumur aktif yang meningkat tersebut menjadi indikasi masih kuatnya produksi minyak mentah AS ke depannya. Saat ini produksi minyak mentah mingguan AS masih tercatat amat perkasa dengan berada di angka 10,725 juta bph, atau kembali mencatatkan rekor sepanjang sejarah negeri adidaya tersebut.
Catatan ini lantas hanya terlampau sedikit saja dari Rusia yang menyandang status sebagai produsen minyak terbesar dunia. Negara yang bakal menjadi tuan rumah di Piala Dunia 2018 itu tercatat memproduksi minyak mentah dalam kisaran 11 juta bph.
(dru) Next Article Sempat Tertekan, Harga Minyak Pelan-pelan Naik
Most Popular