Rupiah Lesu di Asia, Digdaya di Eropa

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
23 May 2018 17:52
Rupiah Lesu di Asia, Digdaya di Eropa
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah terhadap mayoritas mata uang global. Pelemahan ini didorong oleh sentimen negatif yang berasal dari global serta domestik.

Pada Rabu (23/5/2018) pukul 16:00 WIB, rupiah melemah terhadap mata uang negara-negara kawasan Asia. N

Mata UangBid TerakhirChange (%)
Ringgit MalaysiaRp 3.566,60-0,21
Dolar SingapuraRp 10.565,39-0,11
Yuan ChinaRp 2.224,87-0,26
Dolar AustraliaRp 10.708,31-0,05
Yen JepangRp 129,36-1,51
EuroRp 16.693,63+0,02
PoundsterlingRp 18.978,13+0,04
Dolar Amerika Serikat (AS)Rp 14.202,00-0,47
          
Muncul berbagai sentimen yang berasal dari global nampaknya begitu terasa memukul rupiah hari ini. Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat sebesar 0,711%, namun hal tersebut tidak menjadi benteng untuk menjaga rupiah dari pelemahan yang lebih dalam lagi. Terhadap dolar AS, nilai tukar rupiah bahkan menembus diatas Rp 14.200/US$ atau melemah 0,47% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.

Pelemahan ini terjadi menjelang rilis meeting FOMC terkait arah kebijakan The Federal Reserve/The Fed mengenai suku bunga acuan. The Fed Watch bahkan memberikan proyeksi 100% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya pada Juni mendatang. 

Selain sentimen rilis meeting FOMC, faktor perang dagang antara AS dan China juga ikut mempengaruhi. Hal ini terlihat dari pergerakan rupiah terhadap yuan. Seiring dengan meredanya ketegangan antar kedua negara, ikut memberikan sentimen penguatan pada yuan dihadapan rupiah. Situasi yang mirip terhadap dengan nilai tukar rupiah terhadap yen.

Penguatan yen pada hari ini tidak lepas dari permintaan yang meningkat sebagai komoditas safe haven assetseiring dengan kegalauan pasar terhadap perkembangan negosiasi antara AS dan Korea Utara (Korut). Bahkan Presiden AS, Donald Trump menyatakan pertemuan dengan pemimpin Korut, Kim Jong-Un belum tentu terjadi. Hal ini membuat pasar sedikit ragu apakah perdamaian di semenanjung Korea bisa tercapai. 

Sentimen global lain yang mempengaruhi yaitu pergerakan harga komoditas. Hal ini berlaku terhadap penguatan dolar Australia dihadapan rupiah. Kenaikan harga komoditas seperti bijih besi, batu bara, dan emas menjadi berkah bagi Negeri Kanguru.

Kondisi tersebut karena komoditas-komoditas tersebut merupakan ekspor andalan dengan share mencapai 35% dari total ekspor nasional. Maka, ketika ada kenaikan harga akan mendorong penerimaan devisa meningkat dan memberikan sentimen penguatan bagi mata uang domestik.

Di sisi lain pelemahan rupiah terhadap mata uang kawasan Asia juga dipengaruhi oleh faktor domestik. Misalnya Singapura, pelemahan terhadap mata uang negara tersebut tidak lepas dari kondisi pergerakan yield dari masing-masing obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang saling kontradiktif.

Rupiah memang loyo di Asia, namun tidak di Eropa. Situasi ini didukung oleh munculnya sentimen negatif yang berasal dari faktor domestik sehingga berpengaruh terhadap penguatan rupiah.

Ketegangan politik yang terjadi di Uni-Eropa bersumber dari sikap Italia yang berniat untuk menerapkan kebijakan fiskal ekspansif. Niat tersebut ditentang oleh Uni-Eropa karena khawatir Negeri Pizza akan mengalami krisis seperti di tahun 2010 akibat kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif. Di sisi lain, Italia pun tidak ingin ada pihak yang mengintervensi rencana kebijakan tersebut.

Akibatnya ketegangan pun terjadi dan pasar pun mulai mengira-ngira bahwa Italia akan mengikuti jejak Inggris untuk keluar dari Uni-Eropa. Situasi politik yang tidak stabil ini menjadi penyebab utama euro melemah dihadapan rupiah. 

Sementara terhadap poundsterling, sentimen datang dari perkiraan rilis data tingkat penjualan ritel di Negeri Ratu Elizabeth pada periode April 2018 akan cenderung lesu. Konsensus Reuters bahkan memperkirakan tingkat penjualan ritel di negara tersebut hanya tumbuh 0,1% secara year-to-year (yoy) atau lebih rendah dari periode sebelumnya yang mencapai lebih dari 1% secara yoy. Kelesuan ini rupanya menjadi sentimen negatif bagi poundsterling sehingga bernasib sama seperti euro. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular