Pelajaran dari Krisis 1998

Krisis 1998 Bisa Terulang? Cek Dulu Kesehatan Bank

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 May 2018 17:50
Kondisi perbankan lebih kuat. Indikatornya rasio permodalan atau CAR yang mencapai 22,65%.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki tahun 2018, banyak pelaku pasar yang mulai bertanya-tanya: akankah ada krisis lagi tahun ini? Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, dua krisis keuangan besar terakhir yang melanda dunia terjadi pada tahun yang berakhiran dengan angka 8, yaitu 1998 dan 2008.

Pada tahun 1998, dunia menyaksikan krisis keuangan Asia. Krisis ini awalnya bermula di Thailand pada 1997, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai negara lain di kawasan, termasuk Indonesia.

Bahkan, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling menderita akibat krisis tersebut dengan penurunan rupiah paling parah dan jangka waktu pemulihan paling lama. Kondisi ini memaksa Presiden Suharto turun dari jabatannya, yang sekaligus menandai berakhirnya rezim otoriter Orde Baru.

Pada tahun 2008, krisis keuangan melanda AS akibat maraknya penerbitan instrumen derifatif menggunakan kredit perumahan yang tak layak (subprime mortgage) sebagai aset dasar instrumen investasi (underlying).

Celakanya, karena instrumen tersebut dibeli juga oleh institusi keuangan negara lain, krisis pun tereskalasi ke tingkat global. Indonesia saat itu relatif kebal dari krisis karena tak ikut-ikutan membeli instrumen yang menjadi biang kerok tersebut.

Nah belakangan, pelemahan rupiah yang terjadi begitu cepat membuat banyak pihak berpikir bahwa krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1998 sudah berada di depan mata. Tepatkah pemikiran tersebut?

Mari kita lihat lebih dekat dengan memperbandingkan kondisi fundamental perbankan tahun ini dan tahun 1998. Sebelum krisis 1998 pecah, bank menyalurkan kredit secara sembrono setelah keluarnya Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang memberi mereka ruang yang sangat fleksibel untuk membuka bank dan mengucurkan kredit.

Akibatnya, penyaluran kredit meroket naik. Sayangnya, regulasi dan pengawasan perbankan jauh dari maksimal. Ketika rupiah melemah, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) pun meroket. Per akhir 1998, NPL perbankan Indonesia mencapai 48,6%. Artinya, hampir setengah dari kredit yang disalurkan perbankan pada saat itu bermasalah.

Hasil akhirnya pun bisa ditebak. Ketakutan melanda masyarakat karena bank-bank tempat mereka menyimpan dananya mengalami kesulitan likuiditas. Mereka lantas berbondong-bondong menarik dana di bank atau yang dikenal dengan istilah bank rush.

Kala bank rush terjadi, perekonomian akan 'mati'. Pasalnya, perekonomian Indonesia sangat tergantung pada sektor perbankan untuk membiayai aktivitas ekonomi. Pendanaan dari pasar modal kurang maksimal. Pertumbuhan ekonomi tahun 1998 tercatat terkontraksi sebesar -13,1%.

Bandingkan dengan kondisi saat ini. Pernyaluran kredit dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Selain itu, per akhir Maret perbankan Indonesia tercatat memiliki Rasio Pemenuhan Kecukupan Modal Minimum alias Capital Adequacy Ratio (CAR) yang mumpuni yaitu sebesar 22,65%, lebih tinggi dibandingkan posisi akhir 2014 (sebelum rupiah melemah signifikan pada tahun 2015) yang sebesar 19,57%.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2015 kala rupiah menyentuh Rp 14.695/dolar AS saja, CAR sebesar 19,57% sudah cukup untuk menjauhkan perbankan Indonesia dari kebangkrutan meski NPL naik ke 2,43%, dari sebelumnya 2,07%. Bank rush sama sekali tak terjadi pada tahun 2015.

Dengan posisi CAR yang relatif besar saat ini, bisa kita harapkan bank lebih siap menghadapi pelemahan rupiah, sehingga bank rush yang merupakan 'pembunuh' perekonomian Indonesia pada tahun 1998 hampir bisa dipastikan tak akan terlahir kembali.

Berbicara mengenai rupiah, pergerakannya sebenarnya sudah mulai terkendali. Sampai dengan berita ini diturunkan, rupiah menguat 0,32% di pasar spot ke level Rp 14.135/dolar AS. Price-in atas kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) sebanyak 4 kali sudah cukup lama dilakukan oleh investor sehingga tekanan terhadap nilai tukar mulai surut.

Baca:
Agar yang 'Bermasalah' Tak Jadi 'Macet

Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif, meskipun dengan kenaikan yang tipis. Pada kuartal-I 2018, ekonomi Indonesia tercatat tumbuh 5,06% YoY, naik dari capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 5,01%.

Pada intinya, kami melihat bahwa kondisi fundamental perbankan tanah air saat ini sudah jauh lebih siap dalam menghadapi tekanan nilai tukar, sehingga rasanya hampir mustahil bahwa krisis 1998 akan terulang lagi tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(roy) Next Article 20 Tahun Krismon: Trauma Saat Dolar Tembus Rp 16.800

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular