Pelemahan Rupiah Bukan karena Faktor Fundamental

Monica Wareza, CNBC Indonesia
15 May 2018 09:48
Padahal, kondisi makro dalam negeri masih sangat baik baik itu dari segi fiskal maupun moneter.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Bahana TCW Investment Management menilai sentimen negatif global terus menghantui pelemahan rupiah belakangan ini. Padahal, kondisi makro dalam negeri masih sangat baik itu dari segi fiskal maupun moneter.

Direktur Strategi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan stimulus Pemerintah Amerika Serikat dengan memangkas pajak korporasi membuka peluang bagi bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga.

"Di samping itu, dollar AS menguat dan berbalik arah (unwind position) hampir terhadap sejumlah kurs mata uang asing," kata Budi dalam siaran persnya, Selasa (15/5).

Meski demikian, mata uang garuda tak menjadi satu-satunya mata yang yang terdampak aksi Amerika ini. Sebagai contoh, secara year to date beberapa mata uang yang ikut terseret seperti Argentina Pesso terkoreksi 24,6%, Filipina Peso terkoreksi 4,93%, India Rupee melemah 5,42%, mata uang Brazil melemah 8,69%.

Hingga pukul 09.00WIB, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melanjutkan pelemahannya. Di pasar spot nilai tukar setiap US$ 1 dihargai Rp 14.017. Rupiah melemah 0,37 % dibandingkan penutupan hari sebelumnya. 

Lebih lanjut, Budi menjelaskan pelemahan rupiah akibat faktor kebutuhan valuta asing korporasi nasional untuk membayar dividen ke luar negeri. Pola pembayaran dividen berupa valuta asing, yang umum terjadi di kuartal dua telah menyebabkan rupiah tertekan.  

Sementara itu, harga minyak dunia yang terus melambung memicu defisit impor minyak pada kuartal I-2018. Kenaikan harga minyak telah memicu defisit minyak naik 13% (yoy) atau dibandingkan kuartal satu tahun lalu.

Padahal beraca dagang Indonesia di kuartal yang sama membukukan surplus US$ 280 juta, turun signifikan hingga 93% dibandingkan kuartal yang sama tahun lalu dengan surplus sebesar US$ 4,08 miliar. 

Dengan kondisi tersebut, dana asing terus keluar (capital outflow) dari pasar obligasi dan pasar saham sebagai dampak dari pelemahan Rupiah. Secara global, dugaan Fed Fund Rate naik lebih banyak memicu kenaikan yield T-bond. Selanjutnya, lanjut dia, ada risiko memicu kenaikan yield obligasi, akibat aksi ambil untung investor asing.

Padahal, menurut Budi, kondisi makro dalam negeri terus mengalami perbaikan dan akan terus terjadi dalam jangka panjang. Terbukti dengan penerimaan pajak kuartal satu yang meningkat 16,21% dibandingkan kuartal satu tahun lalu yang akan mengurangi supply risk obligasi negara.

Kemudian, kenaikan peringkat kredit Indonesia dari Baa3 menjadi Baa2 dengan proyeksi stabil dari Moodys Investors Service mengurangi risiko gagal bayar. Terakhir, perbaikan daya beli masyarakat ditandai dengan penjualan sepeda motor di bulan Maret yang naik hampir 22% dibandingkan bulan sebelumnya.

"Untuk itu, kami berharap Pemerintah segera menyalurkan belanja pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat," kata dia.
(hps) Next Article Dirut Mandiri: Pelemahan Rupiah Belum Mengkhawatirkan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular