
'Rupiah Anjlok, Ada yang Salah Dengan Fundamental Ekonomi'
Gita Rossiana, CNBC Indonesia
09 May 2018 17:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah pengamat menilai struktur fundamental ekonomi Indonesia secara umum masih bagus. Namun demikian, masih ada permasalahan dari fundamental ekonomi tersebut sehingga rupiah rentan terhadap gejolak. Permasalahan ini pun bersifat klasik dan belum bisa diobati sampai saat ini.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menjelaskan, apabila melihat kondisi pada tahun 1998, pada saat itu, fundamental ekonomi Indonesia masih baik-baik saja. Hal ini bisa dilihat dari sisi tingkat inflasi dan neraca transaksi berjalan.
Namun demikian, ada hal yang luput dari pandangan pemerintah Indonesia bahkan oleh International Monetary Fund (IMF) sehingga menyebabkan Indonesia mengalami krisis pada tahun 1998.
"Ada yang luput, yaitu permasalahan utang luar negeri swasta, karena sistem devisa bebas dan tidak ada capital control, swasta boleh mengambil utang secara bebas dan tidak tercatat," ujar dia di Hotel Milenium, Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Peningkatan utang luar negeri tersebut membuat cadangan devisa tidak mampu mengimbangi. Akibatnya, nilai tukar terdepresiasi cukup dalam, yakni dari angka Rp 2.300/US$ menjadi Rp 15.000/US$.
Saat ini, masalah utang luar negeri tidak seserius pada tahun 1998. Namun demikian, saat ini, nilai tukar rupiah tetap mengalami gejolak sehingga menembus angka psikologis Rp 14.000/US$.
"Saya duga ada struktur ekonomi yang kurang kuat," kata dia.
Permasalahan fundamental ekonomi saat ini dan menjadi permasalahan sejak 20 tahun lalu adalah mengenai struktur ekonomi yang berorientasi ekspor. Permasalahan ini sudah dibahas sejak 20 tahun lalu, agar Indonesia tidak hanya bergantung pada hot money, namun kepada foreign direct investment (FDI) yang berasal dari devisa ekspor.
"Korea dan Taiwan hebat dalam orientasi ekspor. Mereka bisa menghimpun cadangan devisa yang besar sehingga nilai tukar stabil, Indonesia kelemahannya di situ," kata dia.
Head of Economics and Research Finance and Corporate Service PT UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menjelaskan, belajar dari negara-negara seperti India, Filipina dan Thailand, ketiga negara tersebut tetap bisa bertahan di tengah pelemahan nilai tukar. Hal yang menyebabkan hal tersebut adalah FDI yang tinggi apabila menyangkut negara India.
"Dengan FDI tinggi, apabila ada neraca transaksi pembayaran defisit bisa ditambal," kata dia.
Kemudian, untuk Filipina, negara tersebut bergantung pada pemasukan remitansi yang setiap tahunnya bisa menghasilkan devisa US$ 22 miliar yang berasal dari tenaga kerja terlatih. Oleh karenanya, meskipun terjadi penurunan surplus transaksi berjalan, pemasukan remitansi bisa menambal.
"Sedangkan Thailand, negara tersebut memiliki bisnis pariwisata yang menghasilkan devisa 30% dari GDP," kata dia.
Menurut Enrico, dalam jangka panjang, Indonesia bisa belajar dari ketiga negara tersebut. Namun strategi ini harus dilakukan secara berkesinambungan melalui kerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau kementerian terkait.
Sedangkan dari sisi remitansi, Indonesia sudah saatnya untuk mengekspor tenaga kerja yang terlatih. Pasalnya, kendati banyak tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri namun devisa yang dihasilkan tidak sebesar devisa dari tenaga kerja terlatih dari Filipina.
(dru) Next Article Penampakan Kontainer dan Kardus Berisi Uang Baru 10 M
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menjelaskan, apabila melihat kondisi pada tahun 1998, pada saat itu, fundamental ekonomi Indonesia masih baik-baik saja. Hal ini bisa dilihat dari sisi tingkat inflasi dan neraca transaksi berjalan.
Namun demikian, ada hal yang luput dari pandangan pemerintah Indonesia bahkan oleh International Monetary Fund (IMF) sehingga menyebabkan Indonesia mengalami krisis pada tahun 1998.
Peningkatan utang luar negeri tersebut membuat cadangan devisa tidak mampu mengimbangi. Akibatnya, nilai tukar terdepresiasi cukup dalam, yakni dari angka Rp 2.300/US$ menjadi Rp 15.000/US$.
Saat ini, masalah utang luar negeri tidak seserius pada tahun 1998. Namun demikian, saat ini, nilai tukar rupiah tetap mengalami gejolak sehingga menembus angka psikologis Rp 14.000/US$.
"Saya duga ada struktur ekonomi yang kurang kuat," kata dia.
Permasalahan fundamental ekonomi saat ini dan menjadi permasalahan sejak 20 tahun lalu adalah mengenai struktur ekonomi yang berorientasi ekspor. Permasalahan ini sudah dibahas sejak 20 tahun lalu, agar Indonesia tidak hanya bergantung pada hot money, namun kepada foreign direct investment (FDI) yang berasal dari devisa ekspor.
"Korea dan Taiwan hebat dalam orientasi ekspor. Mereka bisa menghimpun cadangan devisa yang besar sehingga nilai tukar stabil, Indonesia kelemahannya di situ," kata dia.
Head of Economics and Research Finance and Corporate Service PT UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menjelaskan, belajar dari negara-negara seperti India, Filipina dan Thailand, ketiga negara tersebut tetap bisa bertahan di tengah pelemahan nilai tukar. Hal yang menyebabkan hal tersebut adalah FDI yang tinggi apabila menyangkut negara India.
"Dengan FDI tinggi, apabila ada neraca transaksi pembayaran defisit bisa ditambal," kata dia.
Kemudian, untuk Filipina, negara tersebut bergantung pada pemasukan remitansi yang setiap tahunnya bisa menghasilkan devisa US$ 22 miliar yang berasal dari tenaga kerja terlatih. Oleh karenanya, meskipun terjadi penurunan surplus transaksi berjalan, pemasukan remitansi bisa menambal.
"Sedangkan Thailand, negara tersebut memiliki bisnis pariwisata yang menghasilkan devisa 30% dari GDP," kata dia.
Menurut Enrico, dalam jangka panjang, Indonesia bisa belajar dari ketiga negara tersebut. Namun strategi ini harus dilakukan secara berkesinambungan melalui kerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau kementerian terkait.
Sedangkan dari sisi remitansi, Indonesia sudah saatnya untuk mengekspor tenaga kerja yang terlatih. Pasalnya, kendati banyak tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri namun devisa yang dihasilkan tidak sebesar devisa dari tenaga kerja terlatih dari Filipina.
(dru) Next Article Penampakan Kontainer dan Kardus Berisi Uang Baru 10 M
Most Popular