
Benarkah Dana Quantitative Easing Mulai Balik Lagi Ke AS?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 May 2018 11:15

Besar kemungkinan dana-dana yang sebelumnya terparkir di Indonesia telah terbang kembali ke AS. Pasalnya, kini ekonomi AS benar-benar dalam posisi yang sangat kuat.
Ya, terlepas dari QE yang sudah diberikan mulai tahun 2008 sampai dengan 2014, perekonomian AS dapat dikatakan suam-suam kuku. Pada tahun 2008, ekonomi AS tumbuh negatif sebesar 0,29%.
Satu tahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi kembali negatif yaitu sebesar 2,78%. Selepas itu, pertumbuhannya mulai positif namun naik-turun di kisaran 1-2%. Pada tahun lalu, International Monetary Fund (IMF) mencatat ekonomi AS tumbuh sebesar 2,3%.
Kemudian pada tahun ini, pertumbuhannya diproyeksi meroket menjadi 2,9%. Jika proyeksi ini terwujud nantinya, maka ini akan menjadi pertumbuhan terkencang sejak 2005 silam.
Tak sampai di tahun ini saja, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksi tetap kuat pada tahun 2019. Estimasi IMF, ekonomi Negeri Paman Sam akan tumbuh 2,7%.
Artinya, negeri dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut tak lagi terjebak di angka pertumbuhan kisaran 1%. Wajar jika kini investor mulai melirik balik bursa saham AS alias Wall Street.
Pada tahun 2017, indeks S&P 500 memberikan imbal hasil hingga 19,4%. Imbal hasil setinggi itu terbilang jarang kita dapati. Tak hanya didorong oleh ekonomi AS yang sudah kembali panas, ekonomi Indonesia juga sedang berada dalam periode yang sulit.
Bayangkan saja, sepanjang tahun 2017, ekonomi dunia tercatat tumbuh sebesar 3,8% atau lebih tinggi 0,6% dibandingkan capaian 2016 yang hanya sebesar 3,2%. Masalahnya, kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 0,04% saja (dari 5,03% menjadi 5,07%).
Padahal, sebagai negara berkembang seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari pesatnya laju ekonomi dunia. Penyebab lesunya ekonomi Indonesia tak lain adalah penghapusan subisidi listrik daya 900VA yang menyasar 18,7 juta rumah tangga.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah. Di sisi lain, pemerintah sangat agresif dalam mematok target pertumbuhan ekonomi.
Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, situasi Indonesia jelas terpojokkan.
Thailand misalnya, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 3,9% pada tahun lalu, naik hingga 0,7% dari capaian tahun 2016 yang sebesar 3,2%. Kemudian, ekonomi Malaysia tumbuh sebesar 5,9% pada tahun lalu, meroket dibandingkan capaian tahun 2016 yang sebesar 4,22%.
Memasuki tahun 2017, situasi tak berubah banyak. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok di angka 5,4% nampak hampir mustahil untuk dicapai. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.
Secara quarter-on-quarter (QoQ), ekonomi Indonesia melemah 0,42%. Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY.
Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%.
Jadi, wajar jika dana yang tadinya dengan nyaman di parkir di Indonesia kini mulai balik ke negeri asalnya. Ekonomi AS sudah kembali panas, sementara laju ekonomi Indoneisa justru masih dingin-dingin saja.
Ya, terlepas dari QE yang sudah diberikan mulai tahun 2008 sampai dengan 2014, perekonomian AS dapat dikatakan suam-suam kuku. Pada tahun 2008, ekonomi AS tumbuh negatif sebesar 0,29%.
Satu tahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi kembali negatif yaitu sebesar 2,78%. Selepas itu, pertumbuhannya mulai positif namun naik-turun di kisaran 1-2%. Pada tahun lalu, International Monetary Fund (IMF) mencatat ekonomi AS tumbuh sebesar 2,3%.
Tak sampai di tahun ini saja, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksi tetap kuat pada tahun 2019. Estimasi IMF, ekonomi Negeri Paman Sam akan tumbuh 2,7%.
Artinya, negeri dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut tak lagi terjebak di angka pertumbuhan kisaran 1%. Wajar jika kini investor mulai melirik balik bursa saham AS alias Wall Street.
Pada tahun 2017, indeks S&P 500 memberikan imbal hasil hingga 19,4%. Imbal hasil setinggi itu terbilang jarang kita dapati. Tak hanya didorong oleh ekonomi AS yang sudah kembali panas, ekonomi Indonesia juga sedang berada dalam periode yang sulit.
Bayangkan saja, sepanjang tahun 2017, ekonomi dunia tercatat tumbuh sebesar 3,8% atau lebih tinggi 0,6% dibandingkan capaian 2016 yang hanya sebesar 3,2%. Masalahnya, kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 0,04% saja (dari 5,03% menjadi 5,07%).
Padahal, sebagai negara berkembang seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari pesatnya laju ekonomi dunia. Penyebab lesunya ekonomi Indonesia tak lain adalah penghapusan subisidi listrik daya 900VA yang menyasar 18,7 juta rumah tangga.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah. Di sisi lain, pemerintah sangat agresif dalam mematok target pertumbuhan ekonomi.
Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, situasi Indonesia jelas terpojokkan.
Thailand misalnya, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 3,9% pada tahun lalu, naik hingga 0,7% dari capaian tahun 2016 yang sebesar 3,2%. Kemudian, ekonomi Malaysia tumbuh sebesar 5,9% pada tahun lalu, meroket dibandingkan capaian tahun 2016 yang sebesar 4,22%.
Memasuki tahun 2017, situasi tak berubah banyak. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok di angka 5,4% nampak hampir mustahil untuk dicapai. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.
Secara quarter-on-quarter (QoQ), ekonomi Indonesia melemah 0,42%. Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY.
Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%.
Jadi, wajar jika dana yang tadinya dengan nyaman di parkir di Indonesia kini mulai balik ke negeri asalnya. Ekonomi AS sudah kembali panas, sementara laju ekonomi Indoneisa justru masih dingin-dingin saja.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular