Benarkah Dana Quantitative Easing Mulai Balik Lagi Ke AS?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 May 2018 11:15
Benarkah Dana Quantitative Easing Mulai Balik Lagi Ke AS?
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Jual bersih investor asing di pasar saham mulai mengkhawatirkan. Sampai dengan akhir perdagangan kemarin (8/5/2018), investor asing telah melakukan jual bersih senilai Rp 36,9 triliun. Nilai ini hampir menyamai jual bersih sepanjang tahun 2017 yang senilai Rp 39,9 triliun. Padahal, semester pertama tahun ini pun belum terlewati.

Derasnya aliran modal keluar kini mulai dikait-kaitkan dengan berbaliknya dana hasil quantitative easing (QE) yang dimulai pada akhir 2008 ke Negeri Paman Sam. Validkah argumen ini?

Sebelum membahas hal tersebut lebih lanjut, ada baiknya kita sedikit membahas mengenai bagaimana dana QE bisa sampai ke pasar saham Indonesia. Pada tahun 2008, perekonomian AS lumpuh lantaran banyaknya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang mengalami gagal bayar (default).

Krisis yang terjadi pada saat itu sering kita kenal dengan sebutan krisis keuangan global atau subprime mortgage crisis. Dimana banyak instrumen derivatif yang diterbitkan menggunakan KPR sebagai underlying dan kemudian banyak KPR yang macet tersebut dirasakan di seluruh dunia dan bukan hanya di AS.

Pemerintah AS kemudian berupaya keluar dari dari jurang krisis, The Federal Reserve selaku Bank Sentral AS mengeluarkan kebijakan quantitative easing (QE) pada November 2008. Melalui kebijakan ini, bank sentral membeli surat utang dari lembaga pembiayaan KPR milik pemerintah, Mortgage Backed Securities (MBS) yang dijamin oleh lembaga-lembaga tersebut, dan surat utang pemerintah AS.

Dalam QE tahap 1 (November 2008-Maret 2010), the Fed menyuntikkan dana hingga US$ 1,8 triliun ke denyut perekonomian AS. QE berlangsung sampai dengan 3 tahap. Pada QE tahap 2 (November 2010-Juni 2012), the Fed menyuntikkan dana senilai US$ 827 miliar, sementara pada tahap 3 (September 2012-Oktober 2014), dana senilai US$ 1,93 triliun disuntikkan oleh the Fed.

Oleh lembaga-lembaga keuangan disana, uang yang didapat dari The Fed diputar untuk menghasilkan keuntungan. Selain dengan disalurkan menjadi kredit (yang pada akhirnya membantu perekonomi AS pulih), salah satu cara yang paling mudah untuk meraup keuntungan adalah dengan menginvestasikannya di instrumen keuangan negara-negara berkembang, termasuk saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Pada tahun 2007, sebelum krisis keuangan global melanda, pasar saham Indonesia kebanjiran dana asing hingga US$ 3,6 miliar. Pada tahun 2008, ternyata masih ada dana asing senilai US$ 1,8 miliar yang menyerbu pasar saham.

Padahal, krisis seharusnya menyebabkan dana asing kabur dari bursa saham negara-negara berkembang. Jika dihitung sejak 2008-2016, total aliran modal ke pasar saham Indonesia mencapai US$ 10 miliar.

Namun, situasi mulai berubah dalam 2 tahun terakhir. Pada tahun 2017, investor asing mencatatkan jual bersih sebesar US$ 3 miliar.

Kemudian pada tahun ini sampai dengan penutupan perdagangan kemarin (8/5/2018), investor asing kembali mencatatkan jual bersih, kali ini senilai US$ 2,7 miliar.

Jika tren jual bersih investor asing bertahan sampai akhir tahun, maka sebuah noda buruk bagi pasar saham Indonesia akan tercipta. Pasalnya, dalam 1 dekade terakhir, tak sekalipun investor asing mencatatkan jual bersih selama 2 tahun berturut-turut.
Besar kemungkinan dana-dana yang sebelumnya terparkir di Indonesia telah terbang kembali ke AS. Pasalnya, kini ekonomi AS benar-benar dalam posisi yang sangat kuat.

Ya, terlepas dari QE yang sudah diberikan mulai tahun 2008 sampai dengan 2014, perekonomian AS dapat dikatakan suam-suam kuku. Pada tahun 2008, ekonomi AS tumbuh negatif sebesar 0,29%.

Satu tahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi kembali negatif yaitu sebesar 2,78%. Selepas itu, pertumbuhannya mulai positif namun naik-turun di kisaran 1-2%. Pada tahun lalu, International Monetary Fund (IMF) mencatat ekonomi AS tumbuh sebesar 2,3%.

Kemudian pada tahun ini, pertumbuhannya diproyeksi meroket menjadi 2,9%. Jika proyeksi ini terwujud nantinya, maka ini akan menjadi pertumbuhan terkencang sejak 2005 silam.

Tak sampai di tahun ini saja, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksi tetap kuat pada tahun 2019. Estimasi IMF, ekonomi Negeri Paman Sam akan tumbuh 2,7%.

Artinya, negeri dengan perekonomian terbesar di dunia tersebut tak lagi terjebak di angka pertumbuhan kisaran 1%. Wajar jika kini investor mulai melirik balik bursa saham AS alias Wall Street.

Pada tahun 2017, indeks S&P 500 memberikan imbal hasil hingga 19,4%. Imbal hasil setinggi itu terbilang jarang kita dapati. Tak hanya didorong oleh ekonomi AS yang sudah kembali panas, ekonomi Indonesia juga sedang berada dalam periode yang sulit.

Bayangkan saja, sepanjang tahun 2017, ekonomi dunia tercatat tumbuh sebesar 3,8% atau lebih tinggi 0,6% dibandingkan capaian 2016 yang hanya sebesar 3,2%. Masalahnya, kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 0,04% saja (dari 5,03% menjadi 5,07%).

Padahal, sebagai negara berkembang seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari pesatnya laju ekonomi dunia. Penyebab lesunya ekonomi Indonesia tak lain adalah penghapusan subisidi listrik daya 900VA yang menyasar 18,7 juta rumah tangga.

Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah. Di sisi lain, pemerintah sangat agresif dalam mematok target pertumbuhan ekonomi.

Dalam APBN 2017, target pertumbuhan dipatok di level 5,1%. Tak puas sampai disitu, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, situasi Indonesia jelas terpojokkan.

Thailand misalnya, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 3,9% pada tahun lalu, naik hingga 0,7% dari capaian tahun 2016 yang sebesar 3,2%. Kemudian, ekonomi Malaysia tumbuh sebesar 5,9% pada tahun lalu, meroket dibandingkan capaian tahun 2016 yang sebesar 4,22%.

Memasuki tahun 2017, situasi tak berubah banyak. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok di angka 5,4% nampak hampir mustahil untuk dicapai. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY.

Secara quarter-on-quarter (QoQ), ekonomi Indonesia melemah 0,42%. Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY.

Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit. Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%.

Jadi, wajar jika dana yang tadinya dengan nyaman di parkir di Indonesia kini mulai balik ke negeri asalnya. Ekonomi AS sudah kembali panas, sementara laju ekonomi Indoneisa justru masih dingin-dingin saja.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular