Buah Simalakama Kenaikan Suku Bunga

Menilik pernyataan BI, syarat pertama kenaikan suku bunga acuan adalah jika pencapaian target inflasi sudah mulai terganggu. Untuk tahun ini, BI menargetkan inflasi di kisaran 2,5-4,5%.
Setidaknya sampai April, tanda-tanda inflasi untuk melampaui target itu belum terlihat. Pada April, laju inflasi masih di 3,41% secara year-on-year (YoY).
Pemerintah juga berkomitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik dan BBM pada tahun ini. Tidak hanya mempengaruhi inflasi dari harga yang diatur pemerintah (administered price), tetapi hal ini juga mempengaruhi stabilitas harga bahan makanan bergejolak (volatile foods) karena tidak ada kenaikan biaya distribusi.
Kecuali jika kemudian harga minyak terus naik sehingga biaya pengadaan BBM membengkak dan pemerintah tidak punya opsi menaikkan harga demi menyelamatkan neraca Pertamina. Namun sejauh ini kemungkinan ke arah sana masih belum terlihat.
Namun perlu diwaspadai bahwa inflasi akibat impor (imported inflation) melonjak drastis. Indeks harga impor Indonesia pada Maret tercatat 143,78. Secara bulanan, terjadi kenaikan 0,42% sementara secara tahunan naik sampai 7,77%.
Jika BI melihat inflasi dari sisi impor ini sudah mengkhawatirkan dan bisa mengancam inflasi umum, maka justifikasi kenaikan suku bunga sudah terpenuhi. Namun jika inflasi umum diperkirakan masih ‘jinak’ (meski ada tekanan inflasi impor), maka belum ada kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan.
![]() |
Sementara di sisi stabilitas sektor keuangan, sejauh ini juga masih stabil. Sampai Februari, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan masih tinggi di 23,1%. Sementara rasio likuiditas yang tercermin dari Alat Likuid Berbanding Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) juga memadai di 23%.
Kenaikan suku bunga acuan justru dikhawatirkan bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan. Pasalnya, pertumbuhan kredit masih rendah di satu digit, tepatnya 8,2%.
Jika suku bunga acuan naik, maka suku bunga deposito akan mengikuti dan kemudian disusul suku bunga kredit. Pertumbuhan kredit akan semakin tertekan jika suku bunga naik, dan dampaknya bisa berujung ke stagnasi atau bahkan kontraksi ekonomi.
Kenaikan suku bunga kredit juga dikhawatirkan bisa menyebabkan kenaikan kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL). Sejak tahun lalu perbankan sibuk melakukan konsolidasi untuk membersihkan NPL yang sempat melonjak akibat penurunan harga komoditas pada 2015. Kini NPL mulai sehat, berada di 2,9% (gross) atau 1,3% (net).
Jika suku bunga acuan naik, maka dikhawatirkan akan menyebabkan kenaikan cicilan yang harus dibayar debitur. Ini bisa membuat NPL kembali meningkat karena kesulitan debitur melunasi pinjaman yang naik akibat kenaikan bunga.
Oleh karena itu, dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap stabilitas sektor keuangan perlu dipikirkan masak-masak. Jangan sampai langkah ini justru menjadi kontraproduktif.
Kini semuanya tergantung BI. Apakah BI akan ‘menyerah’ menghadapi pelemahan rupiah dan memilih menaikkan suku bunga acuan, atau berjuang lebih keras agar menahan keluarnya arus modal asing.
Namun bila BI memilih berjuang lebih keras, konsekuensinya pun tidak ringan yaitu penurunan cadangan devisa, yang mungkin sangat signifikan. Bila cadangan devisa turun signifikan, maka justru bisa menjadi tambahan sentimen negatif karena Indonesia dinilai semakin rentan menghadapi gejolak eksternal.
Pilihan yang tidak mudah bagi BI. Menaikkan atau tidak menaikkan, masing-masing pilihan ini mengandung risiko yang tidak kecil.
Bagai buah simalakama. Kalau dimakan ayah meninggal, tapi kalau tidak dimakan ibu yang meninggal...
TIM RISET CNBC INDONESIA
