Kemenkeu Belum Lihat Dolar AS ke Rp 14.000 Bahayakan APBN
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
08 May 2018 12:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Keperkasaan dolar AS yang sudah menembus level Rp 14.000/US$ dianggap belum terlalu mengkhawatirkan bagi pengelolaan kas keuangan negara. Namun, pemerintah akan tetap memantau situasinya ke depan.
"Tidak [mengkhawatirkan]. Kalau dari sisi APBN, sudah berkali-kali disampaikan namanya asumsi kurs buat APBN itu bersifat indikatif," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Dalam asumsi makro yang ditetapkan dalam APBN 2018, kurs rupiah dipatok di level Rp 13.400. Namun pada pukul 11:00 WIB di pasar spot hari ini, US$ 1 dihargai Rp 14.035, melemah 0,29% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Secara garis besar, Suahasil memandang, pelemahan rupiah akan berdampak positif terhadap penerimaan negara. Hal itu, bisa mengkompensasi komponen belanja pemerintah maupun pembayaran utang dalam denominsasi valas.
"Dari penerimaan yang kita dapatkan itu lebih tinggi dari pengeluaran yang gara-gara kurs. Kalau kita nett antara pengeluaran dan penerimaan. Jadi kalau dari sisi pengelolaan APBN, tidak ada hal yang mengkhawatirkan," katanya.
"Tetapi kita perlu mengamati dan memastikan situasinya, kan bukan hanya APBN tapi perekonomian secara keseluruhan. Bagaimana dampaknya ke variabel ekonomi makro yang lain, misalnya inflasi," tambah Suahasil.
Sebagai informasi, berdasarkan analisis sensitivitas APBN 2018, pemerintah sebenarnya untung ketika mata uang Garuda melemah. Pasalnya, tambahan penerimaan negara jauh lebih besar ketimbang kenaikan belanja secara keseluruhan.
Dalam data sensitivitas asumsi makro tersebut, setiap dolar AS menguat Rp 100/US$ di atas asumsi, maka penerimaan negara bertambah sekitar Rp 3,8 - Rp 5,1 triliun. Sementara itu, belanja pemerintah akan naik sekitar Rp 2,2 - Rp 3,4 triliun.
(dru) Next Article Jangan Senang Dulu, Penguatan Rupiah Semata Karena Eksternal
"Tidak [mengkhawatirkan]. Kalau dari sisi APBN, sudah berkali-kali disampaikan namanya asumsi kurs buat APBN itu bersifat indikatif," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara, Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Dalam asumsi makro yang ditetapkan dalam APBN 2018, kurs rupiah dipatok di level Rp 13.400. Namun pada pukul 11:00 WIB di pasar spot hari ini, US$ 1 dihargai Rp 14.035, melemah 0,29% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
"Dari penerimaan yang kita dapatkan itu lebih tinggi dari pengeluaran yang gara-gara kurs. Kalau kita nett antara pengeluaran dan penerimaan. Jadi kalau dari sisi pengelolaan APBN, tidak ada hal yang mengkhawatirkan," katanya.
"Tetapi kita perlu mengamati dan memastikan situasinya, kan bukan hanya APBN tapi perekonomian secara keseluruhan. Bagaimana dampaknya ke variabel ekonomi makro yang lain, misalnya inflasi," tambah Suahasil.
Sebagai informasi, berdasarkan analisis sensitivitas APBN 2018, pemerintah sebenarnya untung ketika mata uang Garuda melemah. Pasalnya, tambahan penerimaan negara jauh lebih besar ketimbang kenaikan belanja secara keseluruhan.
Dalam data sensitivitas asumsi makro tersebut, setiap dolar AS menguat Rp 100/US$ di atas asumsi, maka penerimaan negara bertambah sekitar Rp 3,8 - Rp 5,1 triliun. Sementara itu, belanja pemerintah akan naik sekitar Rp 2,2 - Rp 3,4 triliun.
(dru) Next Article Jangan Senang Dulu, Penguatan Rupiah Semata Karena Eksternal
Most Popular