Dolar AS Rp 14.035, IHSG Anjlok 2,12%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 May 2018 12:20
IHSG anjlok 2,12% ke level 5.760,35 sampai dengan akhir sesi 1.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 2,12% ke level 5.760,35 sampai dengan akhir sesi 1. Pasca dibuka melemah 0,39%, IHSG terus-menerus merosot. Anjloknya IHSG terjadi di saat bursa saham kawasan regional kompak diperdagangkan di zona hijau.

Indeks Nikkei naik 0,18%, indeks Shanghai naik 0,91%, indeks Hang Seng naik 1,17%, indeks Strait Times naik 0,34%, indeks Kospi naik 0,2%, dan indeks KLCI (Malaysia) naik 0,73%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 3,7 triliun dengan volume sebanyak 6,1 miliar saham. Frekuensi perdagangan adalah 212.122 kali.

Anjloknya IHSG dipicu oleh pelemahan rupiah. Pada perdagangan hari ini, rupiah melemah 0,29% ke level Rp 14.035/dolar. Dolar AS memang kembali berada dalam posisi yang kuat: indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang utama dunia lainnya menguat sebesar 0,1% ke level 92,84.

Penguatan dolar AS dipicu oleh potensi kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve sebanyak 4 kali yang masih terbuka lebar, pasca angka pengangguran AS per akhir April tercatat turun ke level terendah dalam hampir 18 tahun, yaitu di level 3,9%. Kemudian, ada juga pernyataan anggota FOMC Raphael Bostic yang membuat investor semakin panik.

"Saya cukup yakin dengan (kenaikan suku bunga acuan) tiga kali untuk saat ini. Namun saya terbuka jika situasi mengarah ke tujuan lain. Apakah itu dua kali, atau empat kali, tergantung data yang ada," ungkap Bostic, dikutip dari Reuters.

Ditambah lagi, lanjut Bostic, perekonomian AS cenderung membaik. Ini menyebabkan tekanan inflasi akan meningkat pada bulan-bulan mendatang sehingga perlu diredam dengan kenaikan suku bunga.

"Jika Anda lihat, ekonomi bergerak naik. Ada banyak stimulus, seperti pemotongan tarif pajak. Jadi, potensi percepatan laju ekonomi (upside potential) masih ada," tutur Bostic.

Perkataan Bostic yang sangat hawkish ini menandakan The Fed siap untuk menaikkan dosis kenaikan suku bunga acuan menjadi empat kali pada 2018. Akibatnya, dolar AS mendapat suntikan doping yang luar biasa sehingga menguat terhadap mata uang dunia lainnya.

Dari dalam negeri, investor nampak masih 'menghukum' rupiah pasca data pertumbuhan ekonomi kuartal-I yang begitu mengecewakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Secara quarter-on-quarter (QoQ), ekonomi Indonesia melemah 0,42%.

Mrespon pelemahan rupiah, investor asing melakukan jual bersih sebesar Rp 222,95 miliar.

Secara sektoral, koreksi IHSG disebabkan oleh aksi jual besar-besaran pada saham-saham sektor barang konsumsi. Sampai dengan akhir sesi 1, sektor barang konsumsi anjlok hingga 3,14%, menjadikannya menjadikannya sektor dengan kontribusi negatif terbesar bagi IHSG.

Saham-saham sektor barang konsumsi yang diperdagangkan melemah diantaranya: PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-3,27%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-1,93%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-3,14%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-3,04%), dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (-1,46%).

Anjloknya saham-saham sektor barang konsumsi nampak bukan disebabkan oleh aksi ambil untung. Aksi jual dipicu oleh lemahnya data penjualan ritel periode Maret yang baru saja dirilis oleh Bank Indonesia. Sepanjang bulan Maret, penjualan barang-barang ritel tercatat hanya tumbuh sebesar 2,5% YoY, jauh di bawah capaian Maret 2017 yang mencapai 4,2% YoY. Data tersebut lantas mengonfirmasi lemahnya konsumsi masyarakat Indonesia sepanjang kuartal-I yang terungkap dari rilis data pertumbuhan ekonomi oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%.

Memasuki bulan April, kondisi nampaknya belum akan berubah banyak. Pasalnya, penjualan barang-barang ritel diproyeksi hanya tumbuh 3,4% YoY, lebih rendah dari capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,2% YoY.

Jika konsumsi terus-menerus lemah seperti saat ini, nampak mustahil bagi pemerintah untuk dapat merealisasikan target pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,4% pada tahun ini.
(hps) Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular