
Mengukur Kekuatan dan Optimisme BI Redam Perkasanya Dolar
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
04 May 2018 19:13

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) masih menaruh optimisme tinggi mampu meredam penguatan dolar AS yang semakin mendekati level Rp 14.000/US$. Keyakinan BI, bukan sekedar isapan jempol semata karena mengacu pada data-data yang berkembang saat ini.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah pelemahan terhadap nilai tukar rupiah murni karena faktor eksternal. Secara fundamental, kondisi perekonomian domestik masih cukup menarik di mata investor dibandingkan negara-negara lain, terlepas adanya tekanan eksternal.
"Secara fundamental, kebijakan moneter dan fiskal kita kredibel dan diakui dengan semua kredit rating yang mengupgrade kredit rating Indonesia. Jadi itu modal dasar untuk memperkuat keyakinan kita melalui tekanan eksternal," kata Nanang, di Gedung BI, Jumat (4/5/2018).
Benarkah demikian?
BI memahami, gejolak yang terjadi di eksternal berimbas pada penyesuaian instrumen portofolio, terutama yang sifatnya jangka pendek. 'Uang panas' yang kabur dari pasar keuangan Indonesia itu, pada akhirnya memberikan tekanan yang membuat rupiah melemah.
Namun, bank sentral melihat, 'the real investor' yang selama ini menanamkan modalnya di Indonesia masih setia bertahan. Alasannya, sambung Nanang, pun cukup sederhana karena menilai secara fundamental ekonomi Indonesia masih cukup stabil.
"Ketika risiko global dan yieldnya naik, ini dianggap akan menekan. Dan itu sudah terbiasa bagi kami. BI sudah terbiasa menghadapi kejutan seperti ini, dan kita harus meyakini bisa melewati ini dengan baik," tegasnya.
Selain itu, BI juga melakukan berbagai upaya lain salah satunya 'mengoleksi' obligasi negara sebagai salah satu upaya melakukan intervensi pasar. Apalagi pada akhir April, BI memiliki Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 136,6 triliun atau naik 45,09% dibandingkan posisi awal bulan.
"Yield Indonesia itu masih menarik. Memang pernah mencapai 7,2%, tapi sekarang sudah turun. Karena BI juga berusaha menstabilkan pasar SBN. Makanya sekarang yieldnya agak sedikit turun," kata Nanang.
Cadangan devisa, lanjut Nanang, saat ini pun masih cukup tidak hanya untuk menstabilisasi, melainkan juga melakukan pembiayaan impor selama 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. BI pun masih memiliki buffer jika rupiah secara tiba-tiba keluar dari fundamentalnya.
Dengan demikian, BI tetap melihat nilai tukar yang semakin mendekati Rp 14.000/US$ masih cukup stabil, bila mengukur melalui volatilitasnya yang relatif lebih rendah dibandingkan volatilitas yang dialami negara-negara lain. Secara year to date, volatilitas nilai tukar hanya 5%.
"Secara supply demand, kita juga sudah excess supply. [...] Jadi likuiditas pasar asing tetap terjaga, kebutuhan valas masih bisa dipenuhi oleh supply yang ada di pasar. BI akan masuk ke pasar, lebih kepada melakukan smoothing. Masuk kalau ada excess yang harus kita penuhi," katanya.
"Ini modal dasar untuk memperkuat keyakinan kita, bahwa kita melalui tekanan eksternal dengan cukup baik. Karena sudah dilalui berkali-kali dan kita melaluinya dengan cukup baik. Jadi gejolak global jangan dilihat sebagai akhir, karena kita sudah proven bisa melaluinya dengan baik," ungkapnya.
(dru) Next Article Era 'Diskon' Rupiah Masih Berlanjut
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah pelemahan terhadap nilai tukar rupiah murni karena faktor eksternal. Secara fundamental, kondisi perekonomian domestik masih cukup menarik di mata investor dibandingkan negara-negara lain, terlepas adanya tekanan eksternal.
"Secara fundamental, kebijakan moneter dan fiskal kita kredibel dan diakui dengan semua kredit rating yang mengupgrade kredit rating Indonesia. Jadi itu modal dasar untuk memperkuat keyakinan kita melalui tekanan eksternal," kata Nanang, di Gedung BI, Jumat (4/5/2018).
BI memahami, gejolak yang terjadi di eksternal berimbas pada penyesuaian instrumen portofolio, terutama yang sifatnya jangka pendek. 'Uang panas' yang kabur dari pasar keuangan Indonesia itu, pada akhirnya memberikan tekanan yang membuat rupiah melemah.
Namun, bank sentral melihat, 'the real investor' yang selama ini menanamkan modalnya di Indonesia masih setia bertahan. Alasannya, sambung Nanang, pun cukup sederhana karena menilai secara fundamental ekonomi Indonesia masih cukup stabil.
"Ketika risiko global dan yieldnya naik, ini dianggap akan menekan. Dan itu sudah terbiasa bagi kami. BI sudah terbiasa menghadapi kejutan seperti ini, dan kita harus meyakini bisa melewati ini dengan baik," tegasnya.
Selain itu, BI juga melakukan berbagai upaya lain salah satunya 'mengoleksi' obligasi negara sebagai salah satu upaya melakukan intervensi pasar. Apalagi pada akhir April, BI memiliki Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 136,6 triliun atau naik 45,09% dibandingkan posisi awal bulan.
"Yield Indonesia itu masih menarik. Memang pernah mencapai 7,2%, tapi sekarang sudah turun. Karena BI juga berusaha menstabilkan pasar SBN. Makanya sekarang yieldnya agak sedikit turun," kata Nanang.
Cadangan devisa, lanjut Nanang, saat ini pun masih cukup tidak hanya untuk menstabilisasi, melainkan juga melakukan pembiayaan impor selama 7,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. BI pun masih memiliki buffer jika rupiah secara tiba-tiba keluar dari fundamentalnya.
Dengan demikian, BI tetap melihat nilai tukar yang semakin mendekati Rp 14.000/US$ masih cukup stabil, bila mengukur melalui volatilitasnya yang relatif lebih rendah dibandingkan volatilitas yang dialami negara-negara lain. Secara year to date, volatilitas nilai tukar hanya 5%.
"Secara supply demand, kita juga sudah excess supply. [...] Jadi likuiditas pasar asing tetap terjaga, kebutuhan valas masih bisa dipenuhi oleh supply yang ada di pasar. BI akan masuk ke pasar, lebih kepada melakukan smoothing. Masuk kalau ada excess yang harus kita penuhi," katanya.
"Ini modal dasar untuk memperkuat keyakinan kita, bahwa kita melalui tekanan eksternal dengan cukup baik. Karena sudah dilalui berkali-kali dan kita melaluinya dengan cukup baik. Jadi gejolak global jangan dilihat sebagai akhir, karena kita sudah proven bisa melaluinya dengan baik," ungkapnya.
(dru) Next Article Era 'Diskon' Rupiah Masih Berlanjut
Most Popular