
Rupiah Hari Ini: Melemah Lalu Menguat, Dikawal BI?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 May 2018 16:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil mengubah tren pelemahan menjadi penguatan. Sepertinya intervensi Bank Indonesia (BI) di pasar valas dan obligasi menuai hasil.
Pada Kamis (3/5/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.935. Rupiah menguat 0,03% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Rupiah berbalik arah jelang penutupan pasar. Sebelumnya, hampir sepanjang hari rupiah berkubang di zona merah. Bahkan rupiah sempat menyentuh posisi terlemahnya Rp 13.973/US$.
Rupiah yang sempat menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia pun sudah bergerak searah dengan mata uang regional yang cenderung menguat terhadap dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap greenback:
Setelah garang, dolar AS pun mulai melandai. Dollar Index, yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama, masih menguat tetapi tipis saja di 0,08%.
Dolar AS mendapat dorongan setelah Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Namun, The Fed mengungkapkan bahwa inflasi Negeri Paman Sam sudah mendekati target.
Personal Consumption Expenditure (PCE) yang menjadi indikator The Fed untuk mengukur tingkat inflasi, sudah mencapai target 2%. Untuk core PCE sudah mendekati 2%, tepatnya 1,9%.
Artinya, peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni semakin besar, karena ada kebutuhan untuk menjangkar ekspektasi inflasi agar sesuai dengan target. Dalam pertemuan 13 Juni mendatang, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 95%, menurut CME Federal Funds Futures.
Ketika peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka lebar, maka ruang apresiasi mata uang pun demikian. Greenback pun kembali menguat dan mengancam mata uang global, termasuk rupiah.
Namun penguatan dolar AS tidak bertahan lama. Jelang tengah hari, mata uang Asia bergerak menguat karena kedatangan delegasi AS ke China untuk membahas isu perdagangan. Pertemuan ini memang baru awal, tetapi menjadi sinyal komitmen Washington dan Beijing untuk tidak terlibat perang dagang.
Meredanya sentimen perang dagang membuat negara-negara eksportir seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, sampai Thailand diuntungkan. Negara-negara tersebut sudah tergolong pemain penting dalam global supply chain, karena mampu memasok produk manufaktur ke pasar dunia.
Bagi Indonesia, sentimen ini sepertinya tidak memiliki dampak sebesar di negara lain. Pasalnya, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas. Kinerja ekspor nasional lebih bergantung pada pergerakan harga komoditas global, bukan kebijakan perdagangan.
Mungkin faktor ini yang membuat rupiah kurang diapresiasi oleh pelaku pasar. Sebaliknya, pelaku pasar mengapresiasi tinggi yen, won, dolar Singapura, dan baht.
Belum lagi arus modal asing masih cenderung meninggalkan Indonesia. Hari ini, investor asing membukukan jual bersih Rp 772,54 miliar di pasar saham. Rupiah pun masih melemah sampai jelang sore hari.
Akan tetapi, rupiah ternyata mampu menipiskan depresiasinya dan bahkan berbalik menguat. Minimnya sentimen pendorong membuat penguatan rupiah ini kemungkinan besar merupakan hasil dari pengawalan ketat BI.
Bank sentral memang terlihat aktif di pasar. Per 27 April, kepemilikan SBN oleh BI mencapai Rp 141,1 triliun sementara sehari sebelumnya masih Rp 109,35 triliun. Artinya BI menyerap likuiditas rupiah untuk membuat mata uang ini terapresiasi.
"Sepertinya bank sentral tidak ingin rupiah melemah lebih lanjut," ujar Chang Wei Liang, FX Strategist di Mizuho Bank, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Kamis (3/5/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 13.935. Rupiah menguat 0,03% dibandingkan penutupan hari sebelumnya.
Rupiah berbalik arah jelang penutupan pasar. Sebelumnya, hampir sepanjang hari rupiah berkubang di zona merah. Bahkan rupiah sempat menyentuh posisi terlemahnya Rp 13.973/US$.
![]() |
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,62 | +0,19 |
Yuan China | 6,35 | +0,18 |
Won Korsel | 1.074,09 | +0,44 |
Dolar Taiwan | 29,70 | +0,26 |
Dolar Singapura | 1,33 | +0,34 |
Ringgit Malaysia | 3,94 | -0,15 |
Peso Filipina | 51,73 | +0,38 |
Baht Thailand | 31,66 | +0,31 |
Setelah garang, dolar AS pun mulai melandai. Dollar Index, yang mengukur posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama, masih menguat tetapi tipis saja di 0,08%.
Dolar AS mendapat dorongan setelah Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Namun, The Fed mengungkapkan bahwa inflasi Negeri Paman Sam sudah mendekati target.
Personal Consumption Expenditure (PCE) yang menjadi indikator The Fed untuk mengukur tingkat inflasi, sudah mencapai target 2%. Untuk core PCE sudah mendekati 2%, tepatnya 1,9%.
Artinya, peluang untuk kenaikan suku bunga acuan pada pertemuan Juni semakin besar, karena ada kebutuhan untuk menjangkar ekspektasi inflasi agar sesuai dengan target. Dalam pertemuan 13 Juni mendatang, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 1,75-2% mencapai 95%, menurut CME Federal Funds Futures.
Ketika peluang kenaikan suku bunga acuan masih terbuka lebar, maka ruang apresiasi mata uang pun demikian. Greenback pun kembali menguat dan mengancam mata uang global, termasuk rupiah.
Namun penguatan dolar AS tidak bertahan lama. Jelang tengah hari, mata uang Asia bergerak menguat karena kedatangan delegasi AS ke China untuk membahas isu perdagangan. Pertemuan ini memang baru awal, tetapi menjadi sinyal komitmen Washington dan Beijing untuk tidak terlibat perang dagang.
Meredanya sentimen perang dagang membuat negara-negara eksportir seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, sampai Thailand diuntungkan. Negara-negara tersebut sudah tergolong pemain penting dalam global supply chain, karena mampu memasok produk manufaktur ke pasar dunia.
Bagi Indonesia, sentimen ini sepertinya tidak memiliki dampak sebesar di negara lain. Pasalnya, ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas. Kinerja ekspor nasional lebih bergantung pada pergerakan harga komoditas global, bukan kebijakan perdagangan.
Mungkin faktor ini yang membuat rupiah kurang diapresiasi oleh pelaku pasar. Sebaliknya, pelaku pasar mengapresiasi tinggi yen, won, dolar Singapura, dan baht.
Belum lagi arus modal asing masih cenderung meninggalkan Indonesia. Hari ini, investor asing membukukan jual bersih Rp 772,54 miliar di pasar saham. Rupiah pun masih melemah sampai jelang sore hari.
Akan tetapi, rupiah ternyata mampu menipiskan depresiasinya dan bahkan berbalik menguat. Minimnya sentimen pendorong membuat penguatan rupiah ini kemungkinan besar merupakan hasil dari pengawalan ketat BI.
Bank sentral memang terlihat aktif di pasar. Per 27 April, kepemilikan SBN oleh BI mencapai Rp 141,1 triliun sementara sehari sebelumnya masih Rp 109,35 triliun. Artinya BI menyerap likuiditas rupiah untuk membuat mata uang ini terapresiasi.
"Sepertinya bank sentral tidak ingin rupiah melemah lebih lanjut," ujar Chang Wei Liang, FX Strategist di Mizuho Bank, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular