
Dari 5 Saham Bank BUKU IV, Tak Satupun Yang Bisa Menguat
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 May 2018 12:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 2,33% sampai dengan akhir sesi 1 banyak dipicu oleh sektor jasa keuangan. Sektor ini anjlok hingga 2,42% dan berkontribusi sebesar 42 poin dari total koreksi IHSG yang sebesar 140 poin.
Koreksi sektor jasa keuangan utamanya disebabkan oleh kejatuhan harga saham bank-bank yang masuk dalam kategori BUKU IV. Dari 5 emiten bank BUKU IV, tak satupun yang mampu mencatatkan kenaikan harga sampai dengan siang hari ini: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 3,13%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 3,13%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 2,62%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 2,48%, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 0,11%.
Pada hari ini, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengumumkan laba bersih yang dapat didistribusikan ke pemilik entitas induk sebesar Rp 7,4 triliun sepanjang kuartal 1-2018, naik 11,3% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Namun, capaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebesar Rp 8,05 triliun.
Sebelumnya, kinerja keuangan emiten-emiten bank BUKU IV lainnya juga mengecewakan: Sepanjang kuartal-I 2018, BBCA membukukan laba bersih sebesar Rp 5,5 triliun, di bawah konsensus yang sebesar yang sebesar Rp 5,6 triliun.
BMRI membukukan laba bersih sebesar Rp 5,9 triliun, lebih rendah dari konsensus yang yang sebesar Rp 6 triliun. BBNI membukukan laba bersih sebesar Rp 3,66 triliun, di bawah konsensus yang sebesar Rp 3,91 triliun.
Satu-satunya yang mampu memenuhi ekspektasi adalah BNGA. Sepanjang kuartal-I 2018, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 877 miliar, sama persis dengan konsensus.
Selain karena buruknya kinerja keuangan, sentimen negatif dari sisi eksternal juga ikut menekan laju saham emiten-emiten perbankan. Pada dini hari tadi, The Federal Reserve selaku bank sentral AS mengungkapkan bahwa inflasi dan inflasi inti telah bergerak menuju target sebesar 2%.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah peningkatan dari pernyataan pada bulan maret lalu, dimana kala itu the Fed mengungkapkan bahwa kedua indikator tersebut telah bertengger di bawah 2%.
Tak sampai disitu, the Fed juga seakan mengindikasikan bahwa inflasi bisa meroket di atas 2%. "Inflasi dalam basis 12 bulan (YoY) diharapkan berada di sekitar target simetris 2% dalam jangka waktu menengah," tulis pernyataan The Fed.
Penggunaan kata simetris inilah yang menimbulkan persepsi bahwa inflasi nantinya bisa melebihi level 2%. Sebagai catatan, inflasi sebesar 2% dianggap the Fed sebagai level inflasi yang sehat dan merupakan kunci dari kebijakan suku bunganya.
Pelaku pasar dibuat gusar oleh hal tersebut. Pasalnya, inflasi yang sudah semakin mendekati target dan bahkan bisa melebihinya kembali membuka ruang bagi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini.
Kemudian, investor juga dipaksa bermain aman dengan melepas instrumen beresiko seperti saham sembari menantikan hasil pertemuan delegasi AS dengan pejabat pemerintahan China pada hari ini dan besok (4/5/2018). Pertemuan ini dimaksudkan untuk membicarakan isu-isu terkait perdagangan. Namun, pertemuan ini nampaknya tak akan berlangsung mulus.
Mengutip Bloomberg, seorang pejabat senior dari pemerintahan China mengatakan bahwa Negeri Panda tersebut tak akan mengalah kepada AS. China disebutnya tak akan menerima berbagai kondisi yang disyaratkan oleh AS guna memulai negosiasi, seperti memaksa China untuk mengabaikan program manufaktur jangka panjang ataupun menipiskan surplus neraca perdagangan hingga US$ 100 miliar.
Memang, ketika terdapat sentimen negatif yang tak secara spesifik menargetkan sektor-sektor tertentu dalam IHSG seperti saat ini, pelaku pasar cenderung melepas kepemilikannya atas saham-saham dari sektor yang berkapitalisasi pasar besar seperti jasa keuangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Saham Bank BUKU IV Berguguran, Bikin IHSG Drop Lebih 2%
Koreksi sektor jasa keuangan utamanya disebabkan oleh kejatuhan harga saham bank-bank yang masuk dalam kategori BUKU IV. Dari 5 emiten bank BUKU IV, tak satupun yang mampu mencatatkan kenaikan harga sampai dengan siang hari ini: PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 3,13%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 3,13%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 2,62%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 2,48%, dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 0,11%.
Pada hari ini, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengumumkan laba bersih yang dapat didistribusikan ke pemilik entitas induk sebesar Rp 7,4 triliun sepanjang kuartal 1-2018, naik 11,3% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sebelumnya, kinerja keuangan emiten-emiten bank BUKU IV lainnya juga mengecewakan: Sepanjang kuartal-I 2018, BBCA membukukan laba bersih sebesar Rp 5,5 triliun, di bawah konsensus yang sebesar yang sebesar Rp 5,6 triliun.
BMRI membukukan laba bersih sebesar Rp 5,9 triliun, lebih rendah dari konsensus yang yang sebesar Rp 6 triliun. BBNI membukukan laba bersih sebesar Rp 3,66 triliun, di bawah konsensus yang sebesar Rp 3,91 triliun.
Satu-satunya yang mampu memenuhi ekspektasi adalah BNGA. Sepanjang kuartal-I 2018, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 877 miliar, sama persis dengan konsensus.
Selain karena buruknya kinerja keuangan, sentimen negatif dari sisi eksternal juga ikut menekan laju saham emiten-emiten perbankan. Pada dini hari tadi, The Federal Reserve selaku bank sentral AS mengungkapkan bahwa inflasi dan inflasi inti telah bergerak menuju target sebesar 2%.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah peningkatan dari pernyataan pada bulan maret lalu, dimana kala itu the Fed mengungkapkan bahwa kedua indikator tersebut telah bertengger di bawah 2%.
Tak sampai disitu, the Fed juga seakan mengindikasikan bahwa inflasi bisa meroket di atas 2%. "Inflasi dalam basis 12 bulan (YoY) diharapkan berada di sekitar target simetris 2% dalam jangka waktu menengah," tulis pernyataan The Fed.
Penggunaan kata simetris inilah yang menimbulkan persepsi bahwa inflasi nantinya bisa melebihi level 2%. Sebagai catatan, inflasi sebesar 2% dianggap the Fed sebagai level inflasi yang sehat dan merupakan kunci dari kebijakan suku bunganya.
Pelaku pasar dibuat gusar oleh hal tersebut. Pasalnya, inflasi yang sudah semakin mendekati target dan bahkan bisa melebihinya kembali membuka ruang bagi kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini.
Kemudian, investor juga dipaksa bermain aman dengan melepas instrumen beresiko seperti saham sembari menantikan hasil pertemuan delegasi AS dengan pejabat pemerintahan China pada hari ini dan besok (4/5/2018). Pertemuan ini dimaksudkan untuk membicarakan isu-isu terkait perdagangan. Namun, pertemuan ini nampaknya tak akan berlangsung mulus.
Mengutip Bloomberg, seorang pejabat senior dari pemerintahan China mengatakan bahwa Negeri Panda tersebut tak akan mengalah kepada AS. China disebutnya tak akan menerima berbagai kondisi yang disyaratkan oleh AS guna memulai negosiasi, seperti memaksa China untuk mengabaikan program manufaktur jangka panjang ataupun menipiskan surplus neraca perdagangan hingga US$ 100 miliar.
Memang, ketika terdapat sentimen negatif yang tak secara spesifik menargetkan sektor-sektor tertentu dalam IHSG seperti saat ini, pelaku pasar cenderung melepas kepemilikannya atas saham-saham dari sektor yang berkapitalisasi pasar besar seperti jasa keuangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Saham Bank BUKU IV Berguguran, Bikin IHSG Drop Lebih 2%
Most Popular