
Masih Dihantui Rp 14.000/Dolar AS, IHSG Dibuka Turun 0,29%
Houtmand P Saragih & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 April 2018 09:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah 0,29% ke level 6.211,91 pada pagi hari ini. Pelemahan IHSG mengikuti bursa saham utama kawasan Asia lainnya yang telah terlebih dahulu dibuka melemah.
Situasi nampak semakin tak menguntungkan bagi bursa saham dalam negeri. Pasalnya, hal yang ditakutkan pelaku pasar kini sudah benar-benar terjadi: imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun menembus angka 3%.
Sampai dengan berita ini diturunkan, imbal hasil berada di angka 3,0014%. Sebagai catatan, terakhir kali imbal hasil menyentuh angka 3% adalah pada tahun 2014 silam.
Kenaikan imbal hasil ini dipicu oleh positifnya data-data ekonomi AS. The Conference Board merilis data proyeksi indeks keyakinan konsumen yang pada April 2018 diperkirakan sebesar 128,7, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 127.
Kemudian, Kementerian Perdagangan AS merilis penjualan rumah baru meningkat 4% pada Maret 2018 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, jauh lebih baik jika dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters (1,9% YoY).
Konsumsi masyarakat AS yang semakin solid tentunya memunculkan ekspektasi percepatan laju inflasi. Oleh karena itu, muncul bayangan di benak pelaku pasar bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif untuk menetralisir inflasi.
Tingginya imbal hasil obligasi terbitan pemerintahan Negeri Paman Sam membuat investor kembali melepas kepemilikannya atas instrumen beresiko seperti saham dan mengalihkannya ke dolar AS, sembari menunggu momen yang tepat untuk mulai memburu obligasi AS
Indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang utama dunia lainnya menguat sebesar 0,1% ke level 90,861.
Rupiah pun lagi-lagi menjadi korban. Pada perdagangan hari ini, rupiah sempat mencapai titik terlemahnya di level Rp 13.889/dolar AS, sebelum kembali menguat ke level Rp 13.885/dolar AS. Kondisi rupiah yang masih terpuruk membuat investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 50,54 miliar pada sesi awal perdagangan.
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Situasi nampak semakin tak menguntungkan bagi bursa saham dalam negeri. Pasalnya, hal yang ditakutkan pelaku pasar kini sudah benar-benar terjadi: imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 10 tahun menembus angka 3%.
Sampai dengan berita ini diturunkan, imbal hasil berada di angka 3,0014%. Sebagai catatan, terakhir kali imbal hasil menyentuh angka 3% adalah pada tahun 2014 silam.
Kemudian, Kementerian Perdagangan AS merilis penjualan rumah baru meningkat 4% pada Maret 2018 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, jauh lebih baik jika dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters (1,9% YoY).
Konsumsi masyarakat AS yang semakin solid tentunya memunculkan ekspektasi percepatan laju inflasi. Oleh karena itu, muncul bayangan di benak pelaku pasar bahwa Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif untuk menetralisir inflasi.
Tingginya imbal hasil obligasi terbitan pemerintahan Negeri Paman Sam membuat investor kembali melepas kepemilikannya atas instrumen beresiko seperti saham dan mengalihkannya ke dolar AS, sembari menunggu momen yang tepat untuk mulai memburu obligasi AS
Indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan greenback terhadap mata uang utama dunia lainnya menguat sebesar 0,1% ke level 90,861.
Rupiah pun lagi-lagi menjadi korban. Pada perdagangan hari ini, rupiah sempat mencapai titik terlemahnya di level Rp 13.889/dolar AS, sebelum kembali menguat ke level Rp 13.885/dolar AS. Kondisi rupiah yang masih terpuruk membuat investor asing melakukan jual bersih senilai Rp 50,54 miliar pada sesi awal perdagangan.
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Most Popular