Dolar AS Mulai 'Jinak', IHSG Dibuka Naik 0,05%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
24 April 2018 09:15
Penguatan IHSG menyusul bursa saham kawasan regional yang telah lebih dahulu dibuka di zona hijau.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,05% ke level 6.311,46. Penguatan IHSG menyusul bursa saham kawasan regional yang telah lebih dahulu dibuka di zona hijau.

Sentimen positif bagi IHSG datang dari mulai melandainya imbal hasil obligasi AS. Pada perdagangan hari ini, imbal hasil tenor 10 tahun melandai ke level 2,9677%. Pada penutupan perdagangan kemarin (23/4/2018), nilainya tercatat sebesar 2,973%.

Imbal hasil obligasi AS mulai melandari menjadi pemicu berkurangnya insentif bagi investor dan menjual kepemilikan instrumen yang berisiko dan mengalihkannya ke obligasi AS. Pada akhirnya, bursa saham kawasan Asia mendapat angin segar dan mampu menguat.

Seiring dengan imbal hasil obligasi yang melandai, dolar AS pun kehilangan tajinya. Sampai dengan berita ini diturunkan, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya hanya mampu naik tipis 0,02% ke level 90,963. Padahal, nilainya sempat mencapai titik tertingginya di level 91.076.

Namun demikian dari dalam negeri, nilai tukar rupiah yang masih melemah sebesar 0,04% di pasar spot (menjadi Rp 13.895) perlu diwaspadai oleh pelaku pasar.

Dari sisi perdagangan, berita positif juga mewarnai perdagangan IHSG pagi hari ini. Baru-baru ini, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin menyatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan kunjungan ke China guna membicarakan kesepakatan dagang. Ia juga menyatakan optimismenya bahwa kesepakatan dapat dicapai antar kedua belah pihak.

Jika pada akhirnya kesepakatan yang menguntungkan antar kedua negara benar-benar dapat dicapai, tentu itu merupakan kabar baik bagi bursa saham. Pasalnya, AS merupakan pasar yang sangat penting bagi China, sehingga terjadinya perang dagang berpotensi menekan ekonomi Negeri Panda tersebut.

Bagi AS, China juga merupakan mitra yang penting. Perang dagang dengan China berpotensi membuat harga barang-barang konsumsi di Negeri Paman Sam menjadi mahal, sehingga laju ekonominya bisa terganggu.

Tak hanya melunak terhadap China, AS kini tengah mempertimbangkan pencabutan sanksi terhadap Rusal, salah satu produsen aluminium terbesar asal Rusia. Seperti yang diketahui sebelumnya, Kementerian Keuangan AS membekukan aset milik perusahaan yang berada dalam ranah AS, serta melarang perusahaan untuk melakukan bisnis dalam satuan dolar AS yang meruapakan mata uang utama dalam pasar komoditas dunia. Lantas, Rusal seakan 'ditendang' dari pasar yang dulu dirajainya.

Sanksi kepada Rusal diambil atas tuduhan bahwa Oleg Deripaksa (pemilik perusahaan) telah mengancam kelangsungan bisnis para kompetitornya, penyuapan pejabat pemerintah, dan keterkaitannya dengan tindak pidana kejahatan.

Seiring dengan permintaan Rusal untuk dihapuskan dari daftar penerima sanksi yang juga menyasar 6 pebisnis asal Rusia lainnya, pemerintah AS pun kini membuka opsi tersebut.

"Rusal telah merasakan dampak dari sanksi yang diberikan oleh AS karena keterlibatannya dengan Oleg Deripaska (pemilik perusahaan), namun AS tidak menargetkan para pekerja keras yang bergantung pada Rusal dan anak usahanya," tegas Steve Mnuchin.
(hps) Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular