
IHSG Terkoreksi 0,09%, Rupiah Nyungsep ke Rp 13.895/Dolar AS
Houtmand P Saragih & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 April 2018 09:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memulai pekan ini dengan terkoreksi sebesar 0,09% ke level 6.332,15. Sebelumnya, bursa saham utama di kawasan regional telah terlebih dahulu dibuka di zona merah
Indeks Nikkei turun 0,02% ke level 22.157,88, indeks Kospi turun 0,11% ke level 2.473,7, indeks Strait Times turun 0,19% ke level 3.566,63, indeks Shanghai turun 0,26% ke level 3.063,44, dan indeks Hang Seng turun 0,48% ke level 30.273,03.
Investor nampak masih berada dalam mode defensif pada hari ini. Pasalnya, laju dolar AS semakin tak terbendung. Sampai dengan berita ini diturunkan, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya naik sebesar 0,05% ke level 90,365. Sebagai catatan, pada perdagangan hari Jumat lalu (20/4/2018) indeks dolar AS menguat hingga 0,42%.
Sebagai akibatnya, rupiah pun kembali terseret melemah. Kini, rupiah diperdagangkan di level Rp 13.890/dolar AS, melemah 0,11% dibandingkan penutupan hari jumat yang sebesar Rp 13.875/dolar AS. Bahkan, pada saat pembukaan perdagangan rupiah sudah menyentuh level Rp 13.895/dolar AS. Seiring dengan pelemahan rupiah, investor asing mencatatkan jual bersih senilai Rp 28,13 miliar pada pagi hari ini.
Penguatan dolar AS masih dipicu oleh ekspektasi atas kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve yang lebih agresif dari perkiraan. Mengutip Thomson Reuters, sebanyak 77% dari perusahaan anggota indeks S&P 500 yang telah mengumumkan kinerja keuangan sampai dengan Kamis pagi waktu setempat (19/4/2018) mencatatkan laba bersih yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Lantas, kinerja yang positif dari para emiten ditakutkan akan mendorong inflasi terakselerasi lebih kencang dan memaksa the Federal Reserve selaku bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan lebih dari 3 kali pada tahun ini.
Merespon hal tersebut, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun terbitan Negeri Paman Sam kembali terkerek naik bahkan mendekati 3%, yakni di level 2,9658%. Pada akhir perdagangan minggu lalu, nilainya masih sebesar 2,951.
Imbal hasil yang sudah semakin tinggi ini lantas membuat pelaku pasar melepas kepemilikannya atas instrumen investasi di negara lain dan beralih memeluk dolar AS, sembari menunggu saat yang tepat untuk mulai memburu obligasi pemerintah AS.
Kemudian, tensi geopolitik juga menjadi kurang kondusif, pasca Presiden AS Donald Trump yang mengritik secara keras Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) karena dianggap telah memanipulasi kenaikan harga minyak yang belakangan ini terjadi.
"Sepertinya OPEC melakukannya lagi. Dengan jumlah produksi minyak yang mencapai rekor di mana-mana, termasuk kapal-kapal penuh minyak di lautan, harga minyak yang sangat tinggi saat ini dibuat-buat! Tidak bagus dan tidak akan bisa diterima," tulis Trump di melalui akun @realDonaldTrump
Menyusul cuitan Trump tersebut, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent langsung anjlok. WTI turun 0,92% menjadi US$ 67,7/barel, sementara Brent turun 0,89% menjadi US$ 73,15/barel. Pada perdagangan hari ini, WTI turun 0,2% menjadi US$ 68,26/barel, sementara brent melemah 0,12% menjadi US$ 73,97/barel.
Jika sebelumnya genderang perang dagang dengan China yang ditabuh oleh Trump, nampaknya kini pelaku pasar harus bersiap menghadapi perang intervensi harga minyak antara AS dan OPEC. Hal ini membuat pelaku pasar yang sudah panik menghadapi potensi kenaikan suku bunga acuan oleh the Fed semakin memburu dolar AS dan meninggalkan instrumen investasi di negara lain.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Indeks Nikkei turun 0,02% ke level 22.157,88, indeks Kospi turun 0,11% ke level 2.473,7, indeks Strait Times turun 0,19% ke level 3.566,63, indeks Shanghai turun 0,26% ke level 3.063,44, dan indeks Hang Seng turun 0,48% ke level 30.273,03.
Investor nampak masih berada dalam mode defensif pada hari ini. Pasalnya, laju dolar AS semakin tak terbendung. Sampai dengan berita ini diturunkan, indeks dolar AS yang menggambarkan pergerakan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya naik sebesar 0,05% ke level 90,365. Sebagai catatan, pada perdagangan hari Jumat lalu (20/4/2018) indeks dolar AS menguat hingga 0,42%.
Penguatan dolar AS masih dipicu oleh ekspektasi atas kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve yang lebih agresif dari perkiraan. Mengutip Thomson Reuters, sebanyak 77% dari perusahaan anggota indeks S&P 500 yang telah mengumumkan kinerja keuangan sampai dengan Kamis pagi waktu setempat (19/4/2018) mencatatkan laba bersih yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Lantas, kinerja yang positif dari para emiten ditakutkan akan mendorong inflasi terakselerasi lebih kencang dan memaksa the Federal Reserve selaku bank sentral AS untuk menaikkan suku bunga acuan lebih dari 3 kali pada tahun ini.
Merespon hal tersebut, imbal hasil obligasi tenor 10 tahun terbitan Negeri Paman Sam kembali terkerek naik bahkan mendekati 3%, yakni di level 2,9658%. Pada akhir perdagangan minggu lalu, nilainya masih sebesar 2,951.
Imbal hasil yang sudah semakin tinggi ini lantas membuat pelaku pasar melepas kepemilikannya atas instrumen investasi di negara lain dan beralih memeluk dolar AS, sembari menunggu saat yang tepat untuk mulai memburu obligasi pemerintah AS.
Kemudian, tensi geopolitik juga menjadi kurang kondusif, pasca Presiden AS Donald Trump yang mengritik secara keras Organisasi Negara-negara Penghasil Minyak (OPEC) karena dianggap telah memanipulasi kenaikan harga minyak yang belakangan ini terjadi.
"Sepertinya OPEC melakukannya lagi. Dengan jumlah produksi minyak yang mencapai rekor di mana-mana, termasuk kapal-kapal penuh minyak di lautan, harga minyak yang sangat tinggi saat ini dibuat-buat! Tidak bagus dan tidak akan bisa diterima," tulis Trump di melalui akun @realDonaldTrump
Menyusul cuitan Trump tersebut, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) dan Brent langsung anjlok. WTI turun 0,92% menjadi US$ 67,7/barel, sementara Brent turun 0,89% menjadi US$ 73,15/barel. Pada perdagangan hari ini, WTI turun 0,2% menjadi US$ 68,26/barel, sementara brent melemah 0,12% menjadi US$ 73,97/barel.
Jika sebelumnya genderang perang dagang dengan China yang ditabuh oleh Trump, nampaknya kini pelaku pasar harus bersiap menghadapi perang intervensi harga minyak antara AS dan OPEC. Hal ini membuat pelaku pasar yang sudah panik menghadapi potensi kenaikan suku bunga acuan oleh the Fed semakin memburu dolar AS dan meninggalkan instrumen investasi di negara lain.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500
Most Popular