Dilema Suku Bunga Acuan: Naik Salah, Tetap Juga Salah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 April 2018 16:13
Berbeda dengan pertemuan-pertemuan yang sudah dilalui sepanjang tahun ini, pertemuan kali ini jauh lebih rumit bagi bank sentral.
Foto: REUTERS/Fatima El-Kareem
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) dijadwalkan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan pada hari ini selepas melakukan pertemuan selama dua hari yang sudah dimulai sejak kemarin (18/4/2018). Berbeda dengan pertemuan-pertemuan yang sudah dilalui sepanjang tahun ini, pertemuan kali ini jauh lebih rumit bagi bank sentral.

Memasuki tahun 2018, tak hanya the Federal Reserve selaku bank sentral AS yang melakukan normalisasi (pengetatan) kebijakan, melainkan juga bank sentral dari negara-negara Benua Kuning.

Pada bulan Januari, bank sentral Malaysia menaikkan suku bunga acuan sebesar 25bps, menjadikannya negara Asia Tenggara pertama yang melakukan hal tersebut selama bertahun-tahun lamanya. Terakhir kali Malaysia menaikkan suku bunga acuannya adalah pada tahun 2014.

Maju ke bulan Maret tepatnya pada tanggal 22, ada bank sentral China yakni People's Bank of China (PBOC) yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 5bps, merespon kenaikan suku bunga acuan oleh the Fed.

Kemudian pada 13 April, Otoritas Moneter Singapura (MAS) memperketat kebijakan moneternya untuk kali pertama dalam enam tahun. Berbeda dengan bank sentral pada umumnya yang menggunakan suku bunga acuan dalam mengelola kebijakan moneternya, MAS melakukannya dengan mengendalikan nilai tukar.

Hal ini dilakukan dengan cara membiarkan dolar Singapura naik dan turun terhadap mata uang negara rekan dagang utamanya dalam rentang yang tidak dipublikasikan kepada pelaku pasar.

MAS mengatakan akan sedikit meningkatkan slope dari rentang pergerakan dolar Singapura dari yang sebelumnya 0%, sementara lebar dan titik tengah dari rentang tersebut akan dipertahankan.

Meskipun MAS tidak memberikan angka spesifik untuk seberapa besar kenaikan slope yang dimaksud, analis memperkirakan bahwa kenaikan itu akan mendorong dolar Singapura menguat sebesar 0,5% terhadap dolar AS secara tahunan.

Mustahil Turun
Dalam kondisi seperti ini, rasanya mustahil BI akan menurunkan suku bunga acuannya. Jika hal tersebut dilakukan, maka pasar keuangan Indonesia bisa ditinggal oleh investor asing lantaran imbal hasil di negara lain lebih menarik. Akibatnya, rupiah akan terkoreksi dan menggangu stabilitas ekonomi dalam negeri. Suku bunga belum diturunkan saja, rupiah terus berada dalam tekanan sepanjang tahun 2018.

Naik Juga Tak Mungkin
Menaikkan suku bunga acuan pun nampak juga tak mungkin untuk dilakukan. Walaupun secara teori tekanan terhadap rupiah dapat diredakan dengan menaikkan suku bunga acuan, nampaknya bukan itu yang akan terjadi. Pasalnya, menaikkan suku bunga acuan akan mendorong suku bunga kredit perbankan untuk ikut naik.

Pada akhirnya, konsumen dan korporasi akan berpikir dua kali sebelum menarik kredit dan laju ekonomi dalam negeri akan tertekan. Padahal, ekonomi Indonesia saat ini sudah terseok-seok untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi.

Bayangkan saja, sepanjang tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat ekonomi dunia tumbuh sebesar 3,8%, lebih tinggi 0,6% dibandingkan capaian 2016 yang hanya sebesar 3,2%.

Namun, suku bunga acuan sudah rendah pun kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 0,04% saja (dari 5,03% menjadi 5,07%). Padahal, sebagai negara berkembang seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum dari pesatnya laju ekonomi dunia.

Bayangkan saja yang akan terjadi jika suku bunga acuan justru dinaikkan. Investor asing akan berpikir bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini akan tertekan, bahkan bisa lebih rendah dari capaian tahun lalu.

Akibatnya, mereka akan beramai-ramai meninggalkan Indonesia, menukarkan rupiah yang dimiliki menjadi dolar AS. Tekanan lanjutan terhadap rupiah menjadi tak terelakkan.

Jika Tetap, Pelaku Pasar Tetap Tak Puas
Dalam kondisi saat ini, menahan suku bunga acuan nampak merupakan opsi terbaik. Namun, hal ini nampaknya juga tak akan memuaskan pelaku pasar.

Pasalnya, investor mengharapkan ada kebijakan yang mampu mendorong laju ekonomi yang nampak lesu sepanjang kuatal 1 (terlihat dari lemahnya pertumbuhan penjualan ritel dan menurunnya indeks keyakinan konsumen).

Namun, seperti sudah dijelaskan di atas, penurunan suku bunga acuan nampak mustahil dilakukan pada kondisi seperti saat ini. Kini, Bank Indonesia harus memutar otak untuk dapat mendorong laju ekonomi dalam negeri tanpa menggunakan instrumen suku bunga acuan.

Sebenarnya, bank-bank di Indonesia bisa didorong melakukan efisiensi yang pada akhirnya akan berujung pada turunnya suku bunga kredit. Namun, reformasi seperti itu membutuhkan waktu yang tak sebentar.
(ank/ank) Next Article Segenap Alasan BI Tahan Lagi Suku Bunga Acuan di Level 3,5%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular