Apakah Penguatan Rupiah Bisa Bertahan Lama, BI?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 March 2018 14:40
Apakah Penguatan Rupiah Bisa Bertahan Lama, BI?
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun apakah angin segar ini akan bertiup cukup lama? 

Pada Selasa (27/3/2018) pukul 13:20 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.713. Menguat 0,16% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan sebelumnya. 

Sepanjang hari ini, rupiah terus bergerak menguat. Saat pembukaan perdagangan, dolar AS masih berada di Rp 13.715. 

Reuters

Namun secara tahun kalender atau year to date (YtD), rupiah masih melemah 1,3% terhadap dolar AS. Sementara secara tahunan alias year on year (YoY), rupiah terdepresiasi 3,35%.
 

Reuters

Secara year to date, sejumlah mata uang kawasan menguat terhadap dolar AS. Bahkan penguatan yen Jepang mencapai 7%. Sementara rupiah bersama dolar Hong Kong, rupee India, dan dolar Australia masuk daftar mata uang yang tidak berdaya di depan dolar AS.
 


Secara fundamental, keperkasaan dolar AS terhadap rupiah tidak terhindarkan. Pasalnya, saat ini devisa cenderung keluar dari Indonesia sehingga membuat rupiah menjadi rapuh. 

Dari sektor keuangan, pasar saham mengalami tekanan hebat. Hingga akhir pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah minus 5,86% selama Maret dan sejak awal tahun pelemahannya adalah 2,28%. 

Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih sepanjang pekan lalu dengan nilai Rp 3,75 triliun. Sepanjang tahun ini, investor asing telah membukukan jual bersih senilai Rp 21,04 triliun. 

Di pasar Surat Berharga Negara (SBN), sebenarnya investor asing masih membukukan beli bersih Rp 6,5 triliun. Jumlah yang belum bisa menutup arus modal keluar di pasar saham. 

Tekanan terhadap rupiah juga datang dari sektor riil, yaitu perdagangan. Dalam tiga bulan terakhir, Indonesia terus membukukan  defisit perdagangan karena impor yang tumbuh cepat jauh melampaui ekspor. 

Reuters

Penyebabnya adalah masalah klasik. Setiap kali Indonesia tumbuh membaik, selalu saja diiringi oleh lonjakan impor. Sebab, permintaan yang tumbuh tidak mampu disediakan oleh industri dalam negeri sehingga suka tidak suka harus dipenuhi dari impor.
Dengan minimnya sokongan devisa dari perdagangan, maka harapannya adalah dari transaksi modal dan finansial. Apakah mereka cukup bisa diharapkan menyokong rupiah?

Untuk transaksi modal, komponen yang bisa diharapkan adalah penanaman modal asing di sektor riil alias Foreign Direct Investment. Thomas Lembong, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menargetkan investasi tumbuh 10-14% pada tahun ini. 

Namun, Lembong sendiri mengakui bahwa masih ada hambatan yang membuat investor berpikir ulang menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satunya adalah ketidakpastian regulasi, sering berubah-ubah. 

"Perubahan kebijakan yang terus terjadi menyebabkan instabilitas dan ini menyulitkan investor. Thailand, Vietnam, dan Malaysia punya aturan yang lebih stabil," tutur Lembong awal tahun ini, seperti dikutip Reuters

Bank Dunia pun menyoroti isu serupa. Menurut kajian Bank Dunia, masih ada berbagai hambatan yang bisa membebani laju investasi asing seperti pembatasan kepemilikan pemodal luar negeri, pembatasan kepemilikan lahan, dan sebagainya. 

"Indonesia belum melakukan yang terbaik dalam hal investasi. Pemerintah masih bisa melakukan lebih," tehas Zhou Youngmei, Chief of Country Program on Equitable Growth di Bank Dunia. 

Oleh karena itu, masih ada risiko yang membuat FDI tidak sekencang harapan. Ketika FDI tidak sesuai target, maka aliran devisa pun terancam. 

Selain FDI, devisa juga bisa datang dari investasi portofolio di sektor keuangan. Namun yang satu ini sangat rentan diharapkan bisa stabil, karena bisa keluar-masuk kapan saja. 

Arus modal asing di sektor keuangan ini rentan keluar begitu ada sentimen negatif, baik dari dalam maupun luar negeri. Seperti yang terjadi tahun ini, investor asing cenderung keluar dari pasar karena isu suku bunga. 

Di negara-negara maju, aura pengetatan kebijakan moneter semakin terasa karena Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga setidaknya tiga kali tahun ini. Bank Sentral Inggris (BoE) juga diperkirakan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan Mei mendatang. 

Di Asia pun tren kenaikan suku bunga sudah terjadi. China, Korea Selatan, sampai Malaysia sudah menaikkan suku bunga acuan sebagai antisipasi kenaikan suku bunga global. Sementara Bank Indonesia (BI) dalam pertemuan pekan lalu masih menahan suku bunga acuan. Pelaku pasar memperkirakan BI masih akan menerapkan kebijakan moneter netral sepanjang tahun ini.

Selisih suku bunga antara Indonesia dan negara lain pun makin sempit, dan menjadi insentif bagi investor untuk memindahkan dana ke luar negeri. Ini yang menjadi faktor utama penyebab dana asing masih cenderung meninggalkan Tanah Air. 

Belum lagi ada berbagai isu yang membuat investor pasar keuangan grogi. Mulai dari perang dagang, tensi geopolitik Timur Tengah yang panas-dingin, hingga upaya makar di Spanyol bisa menjadi faktor yang mendorong investor bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko. 

Oleh karena itu, sepertinya agak sulit mengharapkan penguatan rupiah hari ini bisa berkelanjutan. Pasalnya, sumber devisa yang bersifat tahan lama yaitu dari perdagangan agak sulit diharapkan. Neraca perdagangan bisa terus tertekan selama impor tumbuh tinggi jauh melebihi ekspor. 

Penguatan rupiah kini hanya bisa berharap dari transaksi modal dan finansial. Syukur-syukur kalau FDI bisa tumbuh sesuai harapan sehingga devisa bisa bertahan lama. Menjadi tugas pemerintah untuk meyakinkan investor bahwa Indonesia merupakan tempat yang menarik dan aman untuk menanamkan modal. Pemerintah juga mesti berbenah diri untuk menyederhanakan berbagai regulasi sehingga lebih ramah investasi. 

Namun kalau ternyata FDI tidak mencapai target, terpaksa mengandalkan portofolio alias hot money. Mengandalkan portofolio sebagai penyokong penguatan rupiah? Selamat mencoba...
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular