
Ditinggal Modal Asing, Rupiah Melemah 0,12% dalam Sepekan
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 March 2018 11:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang pekan ini. Arus modal keluar (capital outflow) mendorong pelemahan rupiah di hadapan greenback.
Secara point to point, rupiah melemah 0,12% sepanjang pekan ini. Pada perdagangan kemarin, dolar AS ditutup di posisi Rp 13.780.
Sementara mata uang kawasan bergerak variatif terhadap greenback. Yen Jepang menguat hingga 1,28%, tetapi won Korea Selatan terdepresiasi 0,97%.
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap dolar AS selama sepekan perdagangan terakhir:
Dolar AS sebenarnya cenderung melemah pada perdagangan pekan ini. Dollar Index, yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, bergerak ke bawah selama sepekan perdagangan terakhir. Secara point to point, indeks tersebut melemah 0,31%.
Pelemahan rupiah tidak lepas dari tekanan di pasar keuangan domestik. Di bursa saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,49% sepanjang pekan ini. Selama lima hari perdagangan kemarin, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 3,75 triliun.
Dana asing yang keluar dari pasar saham memang kemungkinan besar masuk ke Surat Berharga Negara (SBN). Ini terlihat dari kepemilikan asing yang naik Rp 1,91 triliun selama periode 19-22 Maret. Namun masuknya dana asing di pasar SBN tidak bisa mengimbangi nilai yang keluar dari bursa saham.
Ketidakpastian global membuat investor (terutama asing) enggan 'bermain' dengan instrumen yang berisiko seperti saham dan cenderung memilih yang lebih aman misalnya obligasi. Setidaknya ada dua risiko besar yang melanda pasar pada pekan ini.
Pertama adalah tren kenaikan suku bunga global yang sepertinya sudah di depan mata. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, sementara Bank Sentral China (PBoC) juga menaikkan suku bunga meski hanya 5 basis poin.
Bank Sentral Inggris (BoE) memang masih menahan suku bunga acuan di 0,5%. Namun BoE semakin tidak malu-malu menyebut pengetatan moneter.
"Berdasarkan permintaan yang sudah mulai meningkat, maka pengetatan kebijakan moneter ke depan sudah tepat untuk mengendalikan laju inflasi secara berkelanjutan. Laju inflasi perlu dikendalikan ke arah yang lebih konvensional," sebut risalah rapat BoE.
Pelaku pasar memperkirakan BoE akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan Mei mendatang. Setelah itu, masih ada kemungkinan kenaikan sekali lagi pada 2018.
Di tengah aura kenaikan suku bunga global tersebut, Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%. BI menilai suku bunga tersebut masih relevan untuk menjangkar inflasi di kisaran 2,5-4,5% pada tahun ini sembari menjaga defisit transaksi berjalan pada level yang sehat dan juga membantu pemulihan perekonomian domestik.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menyebutkan bahwa sikap (stance) kebijakan moneter BI yang cenderung netral ini akan bertahan sampai akhir 2018. Kenaikan suku bunga acuan mungkin baru terjadi pada semester II-2019.
Ketika AS dan China menaikkan suku bunga sementara BI masih menahan, hasilnya adalah selisih (spread) suku bunga yang menyempit. Akibatnya, ada insentif bagi investor untuk keluar dari pasar Indonesia mencari untung yang lebih besar.
Dana asing yang cenderung meninggalkan Indonesia menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah. Belum lagi ada risiko kedua, yakni perang dagang antara AS vs China.
Pada Kamis waktu setempat, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meneken aturan bea masuk bagi lebih dari 1.000 produk China untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual. China pun membalas kebijakan AS dengan memberlakukan bea masuk bagi 128 produk Negeri Paman Sam, jumlah yang kemungkinan besar akan bertambah.
Kala China dan AS terlibat perang dagang, korbannya adalah perekonomian global. Pasalnya kedua negara ini memainkan peran penting dalam perdagangan dunia. China merupakan negara eksportir terbesar, sementara AS menjadi negara dengan impor terbanyak di kolong langit.
Saling hambat perdagangan di antara kedua raksasa ini membuat industri di seluruh dunia khawatir. Distrupsi rantai pasok global (global value chain) akan terganggu.
Indonesia pun bisa terseret menjadi korban. China merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. Bila industri China terganggu karena produk mereka tidak bisa masuk ke pasar AS, maka permintaan terhadap bahan baku (yang mungkin berasal dari Indonesia) akan berkurang. Ekspor Indonesia pun menjadi terpengaruh.
Saat ekspor Indonesia terganggu, artinya pasokan valas ke dalam negeri pun melambat. Pasokan devisa hanya akan mengandalkan portofolio di sektor keuangan yang mudah keluar-masuk alias hot money. Ini juga menjadi risiko terhadap nilai tukar rupiah yang menjadi perhatian investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Secara point to point, rupiah melemah 0,12% sepanjang pekan ini. Pada perdagangan kemarin, dolar AS ditutup di posisi Rp 13.780.
![]() |
Sementara mata uang kawasan bergerak variatif terhadap greenback. Yen Jepang menguat hingga 1,28%, tetapi won Korea Selatan terdepresiasi 0,97%.
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan Mingguan (%) |
Yen Jepang | 104,71 | +1,28 |
Won Korsel | 1.082,87 | -0,97 |
Dolar Taiwan | 29,18 | -0,03 |
Rupee India | 64,98 | +0,35 |
Dolar Singapura | 1,31 | +0,12 |
Ringgit Malaysia | 3,91 | +0,02 |
Baht Thailand | 31,18 | 0,00 |
Peso Filipina | 52,36 | -0,59 |
Dolar AS sebenarnya cenderung melemah pada perdagangan pekan ini. Dollar Index, yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, bergerak ke bawah selama sepekan perdagangan terakhir. Secara point to point, indeks tersebut melemah 0,31%.
![]() |
Dana asing yang keluar dari pasar saham memang kemungkinan besar masuk ke Surat Berharga Negara (SBN). Ini terlihat dari kepemilikan asing yang naik Rp 1,91 triliun selama periode 19-22 Maret. Namun masuknya dana asing di pasar SBN tidak bisa mengimbangi nilai yang keluar dari bursa saham.
Ketidakpastian global membuat investor (terutama asing) enggan 'bermain' dengan instrumen yang berisiko seperti saham dan cenderung memilih yang lebih aman misalnya obligasi. Setidaknya ada dua risiko besar yang melanda pasar pada pekan ini.
Pertama adalah tren kenaikan suku bunga global yang sepertinya sudah di depan mata. Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, sementara Bank Sentral China (PBoC) juga menaikkan suku bunga meski hanya 5 basis poin.
Bank Sentral Inggris (BoE) memang masih menahan suku bunga acuan di 0,5%. Namun BoE semakin tidak malu-malu menyebut pengetatan moneter.
"Berdasarkan permintaan yang sudah mulai meningkat, maka pengetatan kebijakan moneter ke depan sudah tepat untuk mengendalikan laju inflasi secara berkelanjutan. Laju inflasi perlu dikendalikan ke arah yang lebih konvensional," sebut risalah rapat BoE.
Pelaku pasar memperkirakan BoE akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan Mei mendatang. Setelah itu, masih ada kemungkinan kenaikan sekali lagi pada 2018.
Di tengah aura kenaikan suku bunga global tersebut, Bank Indonesia (BI) masih menahan suku bunga acuan 7 days reverse repo rate di 4,25%. BI menilai suku bunga tersebut masih relevan untuk menjangkar inflasi di kisaran 2,5-4,5% pada tahun ini sembari menjaga defisit transaksi berjalan pada level yang sehat dan juga membantu pemulihan perekonomian domestik.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia menyebutkan bahwa sikap (stance) kebijakan moneter BI yang cenderung netral ini akan bertahan sampai akhir 2018. Kenaikan suku bunga acuan mungkin baru terjadi pada semester II-2019.
Ketika AS dan China menaikkan suku bunga sementara BI masih menahan, hasilnya adalah selisih (spread) suku bunga yang menyempit. Akibatnya, ada insentif bagi investor untuk keluar dari pasar Indonesia mencari untung yang lebih besar.
Dana asing yang cenderung meninggalkan Indonesia menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah. Belum lagi ada risiko kedua, yakni perang dagang antara AS vs China.
Pada Kamis waktu setempat, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meneken aturan bea masuk bagi lebih dari 1.000 produk China untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual. China pun membalas kebijakan AS dengan memberlakukan bea masuk bagi 128 produk Negeri Paman Sam, jumlah yang kemungkinan besar akan bertambah.
Kala China dan AS terlibat perang dagang, korbannya adalah perekonomian global. Pasalnya kedua negara ini memainkan peran penting dalam perdagangan dunia. China merupakan negara eksportir terbesar, sementara AS menjadi negara dengan impor terbanyak di kolong langit.
Saling hambat perdagangan di antara kedua raksasa ini membuat industri di seluruh dunia khawatir. Distrupsi rantai pasok global (global value chain) akan terganggu.
Indonesia pun bisa terseret menjadi korban. China merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. Bila industri China terganggu karena produk mereka tidak bisa masuk ke pasar AS, maka permintaan terhadap bahan baku (yang mungkin berasal dari Indonesia) akan berkurang. Ekspor Indonesia pun menjadi terpengaruh.
Saat ekspor Indonesia terganggu, artinya pasokan valas ke dalam negeri pun melambat. Pasokan devisa hanya akan mengandalkan portofolio di sektor keuangan yang mudah keluar-masuk alias hot money. Ini juga menjadi risiko terhadap nilai tukar rupiah yang menjadi perhatian investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/dru) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular