
Mungkinkah Rupiah Melemah Sampai Rp 15.000/US$?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 March 2018 15:20

Situasi seperti ini seperti deja vu yang mengingatkan situasi pada 2013. Kala itu, pasar mulai memasuki era kegalauan yang juga disebabkan The Fed.
Pada Mei 2013, The Fed mulai memunculkan wacana untuk mengurangi stimulus moneter (quantitative easing) dan bersiap menuju kebijakan moneter ketat. Situasi tersebut membuat pelaku pasar galau, karena khawatir likuiditas global akan seret setelah The Fed tidak mengurangi pembelian surat-surat berharga. Akibatnya investor cenderung mencari aman dan meninggalkan aset-aset berisiko, seperti instrumen di Indonesia.
Tidak hanya itu, situasi di sektor riil pun mirip. Pertumbuhan ekonomi 2013 cukup moncer, pada akhir tahun mencapai 5,78%. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh harga komoditas yang naik seiring kenaikan harga minyak dunia.
Pertumbuhan ekonomi membutuhkan pasokan bahan baku dan barang modal agar dunia usaha bisa menaikkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Namun ini belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri sehingga impor pun melonjak. Tingginya impor membuat neraca perdagangan rentan mengalami defisit, dan kemudian menular ke transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal IV-2013, defisit transaksi berjalan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah yaitu US$ 10,1 miliar atau 4,4% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit di transaksi berjalan menandakan devisa yang keluar dari Indonesia lebih banyak ketimbang yang masuk.
Minimnya sokongan devisa membuat rupiah melemah cukup dalam. Pada awal 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di kisaran Rp 9.800/US$. Rupiah terus melemah dan pada akhir tahun nyaris mencapai Rp 12.200/US$.
Melihat situasi yang agak mirip antara 2018 dengan 2013, ada baiknya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) meningkatkan kewaspadaan. Sebab bila rupiah betul-betul mencapai Rp 15.000/US$, maka dampaknya akan sangat luas.
BI perlu menjaga rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan menjaga persepsi positif di pasar. Sementara pemerintah punya tugas membenahi industri dalam negeri agar mampu memenuhi permintaan tiap kali pertumbuhan ekonomi terakselerasi sehingga tidak impor bisa dibatasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/prm)
Pada Mei 2013, The Fed mulai memunculkan wacana untuk mengurangi stimulus moneter (quantitative easing) dan bersiap menuju kebijakan moneter ketat. Situasi tersebut membuat pelaku pasar galau, karena khawatir likuiditas global akan seret setelah The Fed tidak mengurangi pembelian surat-surat berharga. Akibatnya investor cenderung mencari aman dan meninggalkan aset-aset berisiko, seperti instrumen di Indonesia.
Tidak hanya itu, situasi di sektor riil pun mirip. Pertumbuhan ekonomi 2013 cukup moncer, pada akhir tahun mencapai 5,78%. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh harga komoditas yang naik seiring kenaikan harga minyak dunia.
Pada kuartal IV-2013, defisit transaksi berjalan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah yaitu US$ 10,1 miliar atau 4,4% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit di transaksi berjalan menandakan devisa yang keluar dari Indonesia lebih banyak ketimbang yang masuk.
Minimnya sokongan devisa membuat rupiah melemah cukup dalam. Pada awal 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di kisaran Rp 9.800/US$. Rupiah terus melemah dan pada akhir tahun nyaris mencapai Rp 12.200/US$.
![]() |
BI perlu menjaga rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan menjaga persepsi positif di pasar. Sementara pemerintah punya tugas membenahi industri dalam negeri agar mampu memenuhi permintaan tiap kali pertumbuhan ekonomi terakselerasi sehingga tidak impor bisa dibatasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/prm)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular