Mungkinkah Rupiah Melemah Sampai Rp 15.000/US$?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 March 2018 15:20
Mungkinkah Rupiah Melemah Sampai Rp 15.000/US$?
Foto: REUTERS/Thomas White
Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat S&P Global Ratings menyatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kisaran Rp 15.000/US$ perlu diwaspadai investor. Ketika rupiah mencapai level tersebut maka akan mempengaruhi kinerja perusahaan yang banyak mengambil utang valas.


Saat ini, rupiah memang masih jauh dari Rp 15.000/US$. Pada Selasa (13/3/2018), nilai tukar rupiah di pasar spot pukul 12.55 WIB berada di Rp 13.752/US$. Menguat 0,09% dibandingkan penutupan hari sebelumnya. 

Reuters
Kali terakhir nilai tukar rupiah mencapai Rp 15.000/US$ adalah pada 1998. Wajar karena saat itu memang masih hangat-hangatnya krisis moneter. Selepas itu, nilai tukar rupiah belum menyentuh level tersebut sebelum mencapai kisaran Rp 14.000/US$ pada 2015. 

Reuters
Saat ini mungkin nilai tukar di Rp 15.000/US$ masih dalam horizon yang jauh. Namun kemungkinan ke arah sana tetap harus diantisipasi. Pasalnya, ada sejumlah risiko yang bisa membuat rupiah terus melemah.

Pertama adalah di sektor keuangan. Likuiditas valas di sektor ini terus menurun hingga sulit menopang penguatan nilai tukar rupiah.
 

Di pasar saham, investor asing mencatat jual bersih senilai Rp 14,33 triliun sepanjang 2018. Sementara dalam periode yang sama, dana asing yang keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 5,23 triliun. 

Foto: DJPPR Kemenkeu
Hal ini disebabkan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/ The Fed hampir pasti akan menaikkan suku bunga acuan pada pertemuan bulan ini. Sepanjang 2018, The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan tiga kali. 

Tidak hanya di AS, Eropa pun juga sudah bersiap menerapkan pengetatan moneter. Dalam pertemuan belum lama ini, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) memang masih menahan suku bunga acuan di teritori negatif.  

Presiden ECB Mario Draghi mengatakan pihaknya bisa saja memperpanjang masa pembelian obligasi (quantitative easing) sampai lewat dari September 2018. Namun Draghi tidak menyebutkan pembelian lebih lanjut, yang dibaca pasar sebagai sinyal ECB akan menyelesaikan stimulus dan sudah bersiap mengakhiri era kebijakan moneter longgar.  

Kemudian Bank Sentral Inggris (BoE) juga sudah mengambil ancang-ancang untuk menaikkan suku bunga acuan. BoE memang masih menahan suku bunga acuan sebesar 0,5% dalam pertemuan terakhirnya, tetapi secara tegas disebutkan tentang rencana kenaikan suku bunga yang lebih cepat dan lebih besar. 

Di Asia, beberapa negara yang sudah terlebih dulu menaikkan suku bunga acuan adalah Malaysia, Korea Selatan, sampai Malaysia. Langkah tersebut ditempuh salah satunya sebagai antisipasi tren kenaikan suku bunga negara-negara maju. 
 

Sementara di sektor riil, tekanan berasal dari perdagangan internasional. Indonesia memiliki "penyakit" yang belum sembuh. Setiap kali laju pertumbuhan ekonomi terakselerasi, selalu saja diikuti oleh impor. 

Meski masih sangat dini, gajala itu sudah mulai terlihat. Dalam dua bulan terakhir neraca perdagangan mengalami defisit karena pertumbuhan impor yang jauh melebihi ekspor.  

Ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi membutuhkan tambahan bahan baku dan barang modal untuk memenuhi permintaan. Sayangnya, kebutuhan ini belum bisa dipenuhi oleh produsen dalam negeri sehingga harus didatangkan melalui impor. 

BPS
Situasi seperti ini seperti deja vu yang mengingatkan situasi pada 2013. Kala itu, pasar mulai memasuki era kegalauan yang juga disebabkan The Fed.

Pada Mei 2013, The Fed mulai memunculkan wacana untuk mengurangi stimulus moneter (quantitative easing) dan bersiap menuju kebijakan moneter ketat. Situasi tersebut membuat pelaku pasar galau, karena khawatir likuiditas global akan seret setelah The Fed tidak mengurangi pembelian surat-surat berharga. Akibatnya investor cenderung mencari aman dan meninggalkan aset-aset berisiko, seperti instrumen di Indonesia. 

Tidak hanya itu, situasi di sektor riil pun mirip. Pertumbuhan ekonomi 2013 cukup moncer, pada akhir tahun mencapai 5,78%. Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung oleh harga komoditas yang naik seiring kenaikan harga minyak dunia. 

Pertumbuhan ekonomi membutuhkan pasokan bahan baku dan barang modal agar dunia usaha bisa menaikkan produksinya untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Namun ini belum bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri sehingga impor pun melonjak. Tingginya impor membuat neraca perdagangan rentan mengalami defisit, dan kemudian menular ke transaksi berjalan (current account).

Pada kuartal IV-2013, defisit transaksi berjalan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah yaitu US$ 10,1 miliar atau 4,4% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit di transaksi berjalan menandakan devisa yang keluar dari Indonesia lebih banyak ketimbang yang masuk. 

Minimnya sokongan devisa membuat rupiah melemah cukup dalam. Pada awal 2013, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di kisaran Rp 9.800/US$. Rupiah terus melemah dan pada akhir tahun nyaris mencapai Rp 12.200/US$.  

Reuters
Melihat situasi yang agak mirip antara 2018 dengan 2013, ada baiknya pemerintah dan Bank Indonesia (BI) meningkatkan kewaspadaan. Sebab bila rupiah betul-betul mencapai Rp 15.000/US$, maka dampaknya akan sangat luas.

BI perlu menjaga rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan menjaga persepsi positif di pasar. Sementara pemerintah punya tugas membenahi industri dalam negeri agar mampu memenuhi permintaan tiap kali pertumbuhan ekonomi terakselerasi sehingga tidak impor bisa dibatasi.


TIM RISET CNBC INDONESIA

Next Page
Deja Vu 2013?
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular