
BI: RI Lebih Siap Hadapi Gejolak Nilai Tukar Dibanding 2013
gita rossiana, CNBC Indonesia
09 March 2018 14:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menganggap Indonesia saat ini lebih siap menghadapi gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pasalnya, pasar valuta asing Indonesia saat ini jauh lebih dalam dibandingkan pada 2013.
Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan pada 2013 silam, transaksi valas termasuk kebutuhan di dalam negeri tinggi sekali. Dalam satu bulannya bisa mencapai US$ 8 miliar per bulan.
"Kalau sekarang hanya mencapai US$ 1,3 miliar per bulan," ujar Agus saat ditemui di Kompleks BI, Jakarta, Jumat (9/3/2018).
Menurut Agus, perusahaan ataupun korporasi saat ini tidak boleh melakukan jual beli valas secara sembarangan. Hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang Mata Uang dan diperkuat oleh aturan BI. Akibatnya, kebutuhan valas menjadi terbatas dan kondisi pasar valas Indonesia menjadi berubah.
"Kalau sekarang underying valas tidak begitu besar," kata dia.
Selain karena adanya aturan dari BI, pendalaman pasar keuangan juga mengurangi eksposur valas di dalam negeri. Secara perlahan, menurut Agus pihaknya mengenalkan instrumen keuangan untuk memperdalam pasar tersebut.
"Indonesia jauh lebih siap untuk menghadapi akibat kondisi global saat ini," terang dia.
Gejolak Nilai Tukar
Sementara melihat gejolak nilai tukar yang terjadi saat ini, Agus mengakui terjadi pergerakan yang lebih besar dari periode Januari hingga Maret 2018. Pada Januari 2018, depresiasi baru mencapai 0,71%, namun pada Maret 2018 meningkat menjadi 1,5%.
"Memang terjadi pergerakan rupiah pada Januari yang mencapai Rp 13.200/US$, lalu pada Februari akibat ada tekanan eksternal sehingga mencapai Rp 13.700-13.750/US$, kami selalu mengikuti dan melihat kondisi dan dinamika yang ada," kata dia.
Besaran depresiasi 1,5% secara year to date tersebut menurut Agus merupakan kondisi yang wajar. Kendatipun kalau terjadi volatilitas, BI akan hadir sehingga fluktuasi bisa bergerak di level stabil.
"Sekarang ini, kondisi kita dalam keadaan baik, BI akan selalu menjaga stabilitas makro dan keuangan sehingga pemulihan bisa terus berlangsung," papar dia.
BI juga akan mempertahankan konsistensi nilai tukar secara fleksibel. Artinya, pergerakan nilai tukar akan dipertahankan mengikuti negara-negara peers dengan Indonesia.
"Dibandingkan dengan negara lain, depresiasi 1,5% tidak besar bila dibandingkan dengan Filipina sebesar 2% dan India 3%," kata dia.
(dru) Next Article Bos BI: Rupiah Ada Kecenderungan Menguat!
Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan pada 2013 silam, transaksi valas termasuk kebutuhan di dalam negeri tinggi sekali. Dalam satu bulannya bisa mencapai US$ 8 miliar per bulan.
"Kalau sekarang hanya mencapai US$ 1,3 miliar per bulan," ujar Agus saat ditemui di Kompleks BI, Jakarta, Jumat (9/3/2018).
"Kalau sekarang underying valas tidak begitu besar," kata dia.
Selain karena adanya aturan dari BI, pendalaman pasar keuangan juga mengurangi eksposur valas di dalam negeri. Secara perlahan, menurut Agus pihaknya mengenalkan instrumen keuangan untuk memperdalam pasar tersebut.
"Indonesia jauh lebih siap untuk menghadapi akibat kondisi global saat ini," terang dia.
Gejolak Nilai Tukar
Sementara melihat gejolak nilai tukar yang terjadi saat ini, Agus mengakui terjadi pergerakan yang lebih besar dari periode Januari hingga Maret 2018. Pada Januari 2018, depresiasi baru mencapai 0,71%, namun pada Maret 2018 meningkat menjadi 1,5%.
"Memang terjadi pergerakan rupiah pada Januari yang mencapai Rp 13.200/US$, lalu pada Februari akibat ada tekanan eksternal sehingga mencapai Rp 13.700-13.750/US$, kami selalu mengikuti dan melihat kondisi dan dinamika yang ada," kata dia.
Besaran depresiasi 1,5% secara year to date tersebut menurut Agus merupakan kondisi yang wajar. Kendatipun kalau terjadi volatilitas, BI akan hadir sehingga fluktuasi bisa bergerak di level stabil.
"Sekarang ini, kondisi kita dalam keadaan baik, BI akan selalu menjaga stabilitas makro dan keuangan sehingga pemulihan bisa terus berlangsung," papar dia.
BI juga akan mempertahankan konsistensi nilai tukar secara fleksibel. Artinya, pergerakan nilai tukar akan dipertahankan mengikuti negara-negara peers dengan Indonesia.
"Dibandingkan dengan negara lain, depresiasi 1,5% tidak besar bila dibandingkan dengan Filipina sebesar 2% dan India 3%," kata dia.
(dru) Next Article Bos BI: Rupiah Ada Kecenderungan Menguat!
Most Popular