
ANALISIS
Bumi dan Adaro Paling Terpukul Rencana "Harga Khusus" PLN
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
12 February 2018 18:35

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) baru-baru ini meminta pembelian batu bara di bawah harga pasar untuk pembangkit listriknya. Jika harga pasar untuk batu bara berkadar 6.322 kilokalori (kcal) dipatok US$100,69 per ton, maka batu bara dengan kalori lebih rendah bisa dihargai sekitar US$60 per ton.
Permintaan PLN ini membuat pengusaha reaktif karena mereka tiga tahun lebih telah menghadapi situasi harga pembelian rendah—di bawah US$50 per ton—mengikuti koreksi di pasar global. Kini, ketika harga batu bara bangkit, mereka tidak bisa menikmatinya.
Dan, mereka nantinya tidak bisa menolak karena sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batu Bara untuk Kepentingan Dalam Negeri, perusahaan tambang harus mematuhi persyaratan Domestic Market Obligation (DMO) dengan menjual mineral/batu bara ke konsumen domestik.
Peraturan ini sejatinya dimaksudkan untuk menjamin pasokan dari kenaikan permintaan batu bara lokal, khususnya untuk pembangkit tenaga listrik. Sektor pembangkit listrik konsisten menjadi pemakai DMO dengan porsi terbesar. Pada tahun 2016, persentase pemakaian untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencapai 83,3% dari total DMO. Sebagai tambahan, dari alokasi DMO batu bara 2018 sebanyak 114 juta ton, hampir 80% nya dibakar di tungku PLTU PLN.
Berdasarkan Permen ESDM No.34/2009 Pasal 9 ayat 1, disebutkan bahwa harga mineral dan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri mengacu pada Harga Patokan Batu Bara (HPB), baik untuk penjualan langsung (spot) atau penjualan jangka tertentu (term), atau harga minimum untuk ekspor.
Jika permintaan PLN agar menurunkan harga pembelian batu bara untuk domestik jauh di bawah harga pasar dikabulkan, produsen batu bara dipastikan mencatat pembengkakan potensi kerugian.
Lalu, sebenarnya seberapa besar persentase DMO yang harus dipenuhi perusahaan tambang? CNBC Indonesia menyajikan ulasan terkait DMO untuk 5 emiten dengan market cap terbesar di PT Bursa Efek Indonesia, yakni PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG.JK), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
Permen ESDM No. 34/2009 tidak menyebutkan persentase spesifik dari DMO, melainkan diatur per tahun oleh Menteri ESDM berdasarkan prosedur yang diatur. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2183 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batu Bara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2017, total DMO ditetapkan sebesar 170,92 juta ton.
Jumlah tersebut dibagi kepada badan usaha pertambangan yang memegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Penanaman Modal Asing, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan perusahaan pemegang IUP yang diterbitkan pemerintah provinsi.
Dari total alokasi DMO tahun 2017 tersebut, ADRO memiliki porsi kewajiban sebesar 9,98 juta ton, PTBA sebesar 2,48 juta ton, BYAN 0,9 juta ton, ITMG 6,16 juta ton, dan BUMI 20,06 juta ton. Kewajiban DMO ADRO direpresentasikan oleh PT Adaro Indonesia, sementara itu kewajiban BYAN, ITMG, dan BUMI merupakan penjumlahan dari kewajiban DMO anak-anak perusahaannya masing-masing.
Dari segi volume kewajiban DMO, dapat dilihat bahwa BUMI memikul kewajiban DMO terbesar, yakni 20,06 juta ton, disusul oleh ADRO sebesar 9,98 juta ton dan ITMG dengan 6,16 juta ton. Dengan demikian, BUMI dan ADRO adalah dua perusahaan tambang yang akan menanggung kerugian absolut terbesar apabila nantinya harga batu bara DMO berada di bawah harga pasar.
Meskipun demikian, dari sisi persentase terhadap produksi tahunannya (per 2016, karena angka produksi 2017 belum dirilis), ITMG memiliki persentase DMO terbesar yakni mencapai 24,84% dari total produksi 2016. Hal ini dipicu kewajiban DMO yang lebih dari 30% dari total produksi 2016, bagi dua anak perusahaan ITMG, yakni PT Trubaindo Coal Mining dan PT Bharinto Ekatama. BUMI sendiri mencatatkan persentase DMO sebesar 23,11% dari total produksi 2016, satu tingkat di bawah ITMG.
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Energi Mineral No. 23 K/30/MEM/2018 tentang Penetapan Persentase Minimal Penjualan Batu Bara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2018, ditetapkan bahwa perusahaan tambang wajib memenuhi persentase minimal DMO sebesar 25% dari rencana jumlah produksi batu bara 2018 yang disetujui oleh Menteri/Gubernur.
Perusahaan yang tidak memenuhi persentase minimal DMO tersebut akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2018. Selain itu, pengurangan kuota ekspor pun akan dikenakan sesuai jumlah DMO yang tidak terpenuhi. Perusahaan dapat mengajukan permohonan ekspor setelah DMO itu terpenuhi.
Dengan adanya porsi batu bara yang harus dijual ke pasar domestik tersebut, yang membuat mereka kehilangan potensi membukukan margin laba lebih besar dari pasar global, dan apabila permohonan PLN untuk menurunkan harga batu bara DMO dikabulkan, perusahaan tambang terutama BUMI dan ADRO terpukul dua kali. Ibaratnya, sudah jatuh, tertimpa tangga lagi.***
(ags/ags) Next Article PLTU Pensiun Dini, Bagaimana Nasib Emiten Batu Bara?
Permintaan PLN ini membuat pengusaha reaktif karena mereka tiga tahun lebih telah menghadapi situasi harga pembelian rendah—di bawah US$50 per ton—mengikuti koreksi di pasar global. Kini, ketika harga batu bara bangkit, mereka tidak bisa menikmatinya.
Dan, mereka nantinya tidak bisa menolak karena sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No. 34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batu Bara untuk Kepentingan Dalam Negeri, perusahaan tambang harus mematuhi persyaratan Domestic Market Obligation (DMO) dengan menjual mineral/batu bara ke konsumen domestik.
Berdasarkan Permen ESDM No.34/2009 Pasal 9 ayat 1, disebutkan bahwa harga mineral dan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri mengacu pada Harga Patokan Batu Bara (HPB), baik untuk penjualan langsung (spot) atau penjualan jangka tertentu (term), atau harga minimum untuk ekspor.
Jika permintaan PLN agar menurunkan harga pembelian batu bara untuk domestik jauh di bawah harga pasar dikabulkan, produsen batu bara dipastikan mencatat pembengkakan potensi kerugian.
Lalu, sebenarnya seberapa besar persentase DMO yang harus dipenuhi perusahaan tambang? CNBC Indonesia menyajikan ulasan terkait DMO untuk 5 emiten dengan market cap terbesar di PT Bursa Efek Indonesia, yakni PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG.JK), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).
![]() |
Permen ESDM No. 34/2009 tidak menyebutkan persentase spesifik dari DMO, melainkan diatur per tahun oleh Menteri ESDM berdasarkan prosedur yang diatur. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 2183 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Kebutuhan dan Persentase Minimal Penjualan Batu Bara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2017, total DMO ditetapkan sebesar 170,92 juta ton.
Jumlah tersebut dibagi kepada badan usaha pertambangan yang memegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) Penanaman Modal Asing, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan perusahaan pemegang IUP yang diterbitkan pemerintah provinsi.
Dari total alokasi DMO tahun 2017 tersebut, ADRO memiliki porsi kewajiban sebesar 9,98 juta ton, PTBA sebesar 2,48 juta ton, BYAN 0,9 juta ton, ITMG 6,16 juta ton, dan BUMI 20,06 juta ton. Kewajiban DMO ADRO direpresentasikan oleh PT Adaro Indonesia, sementara itu kewajiban BYAN, ITMG, dan BUMI merupakan penjumlahan dari kewajiban DMO anak-anak perusahaannya masing-masing.
![]() |
Dari segi volume kewajiban DMO, dapat dilihat bahwa BUMI memikul kewajiban DMO terbesar, yakni 20,06 juta ton, disusul oleh ADRO sebesar 9,98 juta ton dan ITMG dengan 6,16 juta ton. Dengan demikian, BUMI dan ADRO adalah dua perusahaan tambang yang akan menanggung kerugian absolut terbesar apabila nantinya harga batu bara DMO berada di bawah harga pasar.
Meskipun demikian, dari sisi persentase terhadap produksi tahunannya (per 2016, karena angka produksi 2017 belum dirilis), ITMG memiliki persentase DMO terbesar yakni mencapai 24,84% dari total produksi 2016. Hal ini dipicu kewajiban DMO yang lebih dari 30% dari total produksi 2016, bagi dua anak perusahaan ITMG, yakni PT Trubaindo Coal Mining dan PT Bharinto Ekatama. BUMI sendiri mencatatkan persentase DMO sebesar 23,11% dari total produksi 2016, satu tingkat di bawah ITMG.
![]() |
Berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Energi Mineral No. 23 K/30/MEM/2018 tentang Penetapan Persentase Minimal Penjualan Batu Bara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2018, ditetapkan bahwa perusahaan tambang wajib memenuhi persentase minimal DMO sebesar 25% dari rencana jumlah produksi batu bara 2018 yang disetujui oleh Menteri/Gubernur.
Perusahaan yang tidak memenuhi persentase minimal DMO tersebut akan dikenakan sanksi berupa pemotongan besaran produksi dalam rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2018. Selain itu, pengurangan kuota ekspor pun akan dikenakan sesuai jumlah DMO yang tidak terpenuhi. Perusahaan dapat mengajukan permohonan ekspor setelah DMO itu terpenuhi.
Dengan adanya porsi batu bara yang harus dijual ke pasar domestik tersebut, yang membuat mereka kehilangan potensi membukukan margin laba lebih besar dari pasar global, dan apabila permohonan PLN untuk menurunkan harga batu bara DMO dikabulkan, perusahaan tambang terutama BUMI dan ADRO terpukul dua kali. Ibaratnya, sudah jatuh, tertimpa tangga lagi.***
(ags/ags) Next Article PLTU Pensiun Dini, Bagaimana Nasib Emiten Batu Bara?
Most Popular