Bandara Paling Sulit di Dunia, Tak Semua Pilot Berani Mendarat
Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi sebagian penumpang, mendarat adalah bagian paling menegangkan dari sebuah penerbangan. Namun di satu bandara kecil di Asia Selatan, ketegangan itu terasa berlipat.
Pesawat harus menukik tajam, berbelok di antara pegunungan, lalu mendarat di landasan sempit tanpa bantuan radar modern. Bandara Internasional Paro (PBH) di Bhutan dikenal sebagai salah satu bandara dengan tingkat kesulitan tertinggi di dunia.
Tak semua pilot diizinkan mendarat di sini. Hanya mereka yang memiliki pelatihan khusus dan pengalaman terbatas yang boleh mengendalikan pesawat menuju Paro, sebuah bandara yang diapit lembah dan pegunungan Himalaya.
Foto: Turis tiba di Bandara Internasional Paro di Bhutan pada tanggal 5 Desember 2019. (AFP/LILLIAN SUWANRUMPHA/File Foto) |
Kondisi geografis ekstrem membuat proses pendaratan di Paro jauh dari kata biasa. Pilot harus mengandalkan kemampuan manual dan pemahaman detail terhadap kontur wilayah sekitar.
Kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal, sehingga keahlian, konsentrasi, dan keberanian menjadi syarat mutlak untuk bisa mendarat dengan aman di bandara ini. Bagi Kapten Chimi Dorji, pilot yang telah bekerja di maskapai penerbangan nasional milik negara Bhutan, Druk Air (alias Royal Bhutan Airlines) selama 25 tahun, Bandara Paro sulit, tetapi tidak berbahaya.
"Memang menantang bagi pilot, tetapi tidak berbahaya, karena jika berbahaya, saya tidak akan terbang," kata Dorji.
Seperti yang dikatakan Dorji, sangat penting bagi pilot untuk mengetahui lanskap di sekitar bandara, jika salah sedikit saja, pilot bisa mendarat di atas rumah seseorang.
"Di Paro, Anda benar-benar perlu memiliki skill dan kompetensi area pengetahuan lokal. Kami menyebutnya pelatihan kompetensi area atau pelatihan area atau pelatihan rute dari mana saja ke Paro," katanya kepada CNN Travel dikutip pada Jumat (19/12/2025).
Bhutan, yang terletak di antara China dan India, lebih dari 97% wilayahnya berupa pegunungan. Ibu kotanya, Thimpu, berada di ketinggian 2.350 meter di atas permukaan laut.
"Di ketinggian yang lebih tinggi, udaranya lebih tipis, sehingga pesawat pada dasarnya harus terbang di udara lebih cepat," jelas Dorji, yang selain menerbangkan pesawat sekarang juga melatih pilot.
Variabel berikutnya yang perlu dipertimbangkan adalah cuaca. Siapa pun yang pernah terbang ke Paro dari New Delhi, Bangkok, Kathmandu, atau Hanoi, kemungkinan besar harus bangun pagi-pagi sekali untuk penerbangan mereka. Alasannya karena petugas bandara lebih suka semua pesawat mendarat sebelum tengah hari demi keselamatan optimal karena kondisi angin kencang.
"Kami mencoba menghindari penerbangan setelah tengah hari karena saat itu Anda akan mendapatkan banyak angin termal, suhu meningkat, hujan belum turun," kata Dorji. "Pagi hari jauh lebih tenang," imbuhnya.
Tidak ada penerbangan malam di Paro karena kurangnya radar. Berbagai penyesuaian harus dilakukan selama musim hujan, yang biasanya terjadi antara bulan Juni dan Agustus.
Tidak jarang terjadi badai petir pada periode tersebut, disertai hujan es yang dapat mencapai ukuran bola golf. Meskipun Bhutan hanya memiliki puluhan pilot berlisensi, negara tersebut berambisi ingin memiliki lebih banyak pilot muda lokal demi kepentingan nasional.
Calon pilot harus menunjukkan kemampuan mereka untuk terbang di semua musim yang bervariasi di Bhutan. Sebagai maskapai penerbangan nasional, Druk Air telah mengambil banyak tanggung jawab untuk pelatihan pilot sendiri.
"Saya menganggap diri saya sebagai jembatan antara generasi lama dan generasi baru," kata Dorji, yang berusia 43 tahun. Ia yakin saat ini ada 50 pilot berlisensi di Bhutan, tetapi jumlah itu dapat dengan mudah berlipat ganda dalam beberapa tahun ke depan.
(hsy/hsy)[Gambas:Video CNBC]
Foto: Turis tiba di Bandara Internasional Paro di Bhutan pada tanggal 5 Desember 2019. (AFP/LILLIAN SUWANRUMPHA/File Foto)