Internasional

Pulau Terpadat Dunia Jadi Rebutan, Ada Kasino dan Rumah Bordir

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Sabtu, 06/12/2025 21:00 WIB
Foto: Migingo Island (Istimewa)

Jakarta, CNBC Indonesia - Coba bayangkan tinggal di sebuah pulau yang ukurannya hanya setengah lapangan sepak bola, namun dihuni oleh ratusan orang secara berdesakan. Inilah kondisi nyata di Pulau Migingo, sebuah pulau kecil di Danau Victoria yang diyakini sebagai pulau dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia.

Menurut laporan Al Jazeera, meskipun pulau ini hanya memiliki luas sekitar 2.000 meter persegi-kurang dari satu blok kota-namun ia menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 500 jiwa. Karena letaknya yang strategis di perbatasan Kenya dan Uganda, tepat di perairan kaya ikan, pulau ini menjadi sumber sengketa antara kedua negara.

Pulau Migingo tak lebih dari batu terjal yang dulunya nyaris tenggelam sebelum permukaan Danau Victoria mulai surut di awal 1990-an. Tapi sekarang, batu ini berubah jadi tempat tinggal padat penduduk. Gubuk-gubuk seng berjejal, berfungsi sebagai tempat tinggal, warung, bar, rumah bordil, bahkan kasino terbuka.


Foto: Pulau Migingo (Photo by Yasuyoshi CHIBA / AFP/File Foto)

Migingo tidak lebih dari sekadar batu yang menjorok keluar dari air sebelum danau itu mulai surut pada awal 1990-an, menurut Emmanuel Kisiangani, seorang peneliti senior di kantor Institut Studi Keamanan Pretoria.

Hasil tangkapan ikan telah sangat berkurang selama bertahun-tahun di komunitas nelayan di sekitar Danau Victoria karena penangkapan ikan yang berlebihan dan invasi tanaman eceng gondok yang menghalangi transportasi di danau dan akses ke pelabuhan. Namun, spesies seperti ikan Nil (disebut juga ikan Barramundi Afrika) masih melimpah di perairan dalam sekitar Migingo, menjadikan pulau ini pusat penangkapan ikan yang berharga dan unik.

Sengketa Dua Negara: Kenya vs Uganda

Meski secara fisik kecil, Migingo menyulut ketegangan politik yang cukup panjang. Kenya dan Uganda sama-sama mengklaim kepemilikan pulau ini, bahkan membentuk komite bersama pada 2016 untuk menyelesaikan perbatasan. Tapi, hasilnya buntu karena kedua negara merujuk peta kolonial era 1920-an yang tak kunjung memberi kejelasan.

"Pulau ini sebenarnya tanah tak bertuan," kata Eddison Ouma, nelayan asal Uganda. Tak sedikit yang menyebut konflik ini sebagai "perang terkecil di Afrika".

Di tengah sempitnya ruang dan ketidakjelasan hukum, kehidupan di Migingo tetap berjalan. Nelayan datang dan pergi, membawa hasil tangkapan yang laris di pasar internasional. Tapi di balik itu, infrastruktur terbatas, sanitasi buruk, dan hukum yang kabur menjadi realitas sehari-hari.

Berkat ekspor yang terus berlanjut ke Uni Eropa dan melonjaknya permintaan ikan barramundi di Asia, ikan besar itu telah menjadi ekspor bernilai jutaan dolar lebih. Uganda mulai mengerahkan polisi bersenjata dan marinir ke Migingo untuk mengenakan pajak kepada nelayan.

Sementara, nelayan Kenya mulai mengeluh bahwa mereka dilecehkan oleh pasukan Uganda karena berbagai alasan, termasuk tuduhan penangkapan ikan ilegal di perairan Uganda. Sebagai tanggapan, pemerintah Kenya mengerahkan marinir ke Migingo yang hampir membuat kedua negara itu bertengkar.


(tps/tps)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Jakarta X Beauty Sambut Akhir Tahun, Ratusan Merek Beri Diskon