
Jadi Rebutan, Pulau Terpadat di Dunia Ini Punya Kasino & Rumah Bordil

Jakarta, CNBC Indonesia - Bayangkan hidup di pulau seukuran setengah lapangan sepak bola, tapi berdempetan dengan ratusan orang lain. Itulah kenyataan di Pulau Migingo, pulau kecil di Danau Victoria yang disebut-sebut sebagai pulau terpadat di dunia.
Al Jazeera melaporkan, pulau ini hanya seluas sekitar 2.000 meter persegi atau kurang dari satu blok di kawasan kota namun dihuni lebih dari 500 orang. Letaknya berada di perbatasan antara Kenya dan Uganda, tepat di tengah perairan yang kaya ikan. Tak heran, wilayah ini jadi rebutan kedua negara.
Pulau Migingo tak lebih dari batu terjal yang dulunya nyaris tenggelam sebelum permukaan Danau Victoria mulai surut di awal 1990-an. Tapi sekarang, batu ini berubah jadi tempat tinggal padat penduduk. Gubuk-gubuk seng berjejal, berfungsi sebagai tempat tinggal, warung, bar, rumah bordil, bahkan kasino terbuka.
Migingo tidak lebih dari sekadar batu yang menjorok keluar dari air sebelum danau itu mulai surut pada awal 1990-an, menurut Emmanuel Kisiangani, seorang peneliti senior di kantor Institut Studi Keamanan Pretoria.
Hasil tangkapan ikan telah sangat berkurang selama bertahun-tahun di komunitas nelayan di sekitar Danau Victoria karena penangkapan ikan yang berlebihan dan invasi tanaman eceng gondok yang menghalangi transportasi di danau dan akses ke pelabuhan. Namun, spesies seperti ikan Nil (disebut juga ikan Barramundi Afrika) masih melimpah di perairan dalam sekitar Migingo, menjadikan pulau ini pusat penangkapan ikan yang berharga dan unik.
Sengketa Dua Negara: Kenya vs Uganda
![]() |
Meski secara fisik kecil, Migingo menyulut ketegangan politik yang cukup panjang. Kenya dan Uganda sama-sama mengklaim kepemilikan pulau ini, bahkan membentuk komite bersama pada 2016 untuk menyelesaikan perbatasan. Tapi, hasilnya buntu karena kedua negara merujuk peta kolonial era 1920-an yang tak kunjung memberi kejelasan.
"Pulau ini sebenarnya tanah tak bertuan," kata Eddison Ouma, nelayan asal Uganda. Tak sedikit yang menyebut konflik ini sebagai "perang terkecil di Afrika".
Di tengah sempitnya ruang dan ketidakjelasan hukum, kehidupan di Migingo tetap berjalan. Nelayan datang dan pergi, membawa hasil tangkapan yang laris di pasar internasional. Tapi di balik itu, infrastruktur terbatas, sanitasi buruk, dan hukum yang kabur menjadi realitas sehari-hari.
Berkat ekspor yang terus berlanjut ke Uni Eropa dan melonjaknya permintaan ikan barramundi di Asia, ikan besar itu telah menjadi ekspor bernilai jutaan dolar lebih. Uganda mulai mengerahkan polisi bersenjata dan marinir ke Migingo untuk mengenakan pajak kepada nelayan.
Sementara, nelayan Kenya mulai mengeluh bahwa mereka dilecehkan oleh pasukan Uganda karena berbagai alasan, termasuk tuduhan penangkapan ikan ilegal di perairan Uganda. Sebagai tanggapan, pemerintah Kenya mengerahkan marinir ke Migingo yang hampir membuat kedua negara itu bertengkar.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
