Kemenkes: Guru-Orang Tua Jajal Makanan MBG Sebelum Dibagikan ke Siswa
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah banyak laporan tentang anak yang menerima makanan basi dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Kementerian Kesehatan menyoroti pentingnya kolaborasi antara guru, orang tua, dan siswa untuk memastikan makanan aman sebelum dibagikan ke sekolah. Salah satu contoh praktik baik datang dari Kabupaten Bandung Barat, di mana masyarakat ikut mengawasi langsung proses distribusi.
Tim Kerja Gizi Kementerian Kesehatan, Yuni Zahrainni, mengatakan, upaya pengawasan seperti ini menunjukkan bagaimana sinergi antar pihak bisa meningkatkan kualitas pelaksanaan MBG.
"Guru dan orang tua bekerja sama menjajal makanan terlebih dahulu. Kalau rasanya baik, aman, dan layak, baru dibagikan ke siswa," ujarnya dalam diskusi publik bertajuk "Suara Anak: Mengedepankan Perspektif Anak dalam Program Makan Bergizi Gratis" secara daring, Rabu (12/11/2025).
Menurut Yuni, praktik ini sejalan dengan semangat pelibatan komunitas lokal dalam program gizi nasional. Ia menilai pendekatan berbasis partisipasi perlu diperluas agar tidak hanya guru dan orang tua, tetapi juga anak-anak sebagai penerima manfaat dilibatkan dalam pemantauan mutu makanan.
"Ketika anak-anak merasa aman untuk memberi masukan tentang rasa, menu, atau penyajian, kita akan punya sistem yang lebih responsif dan berkelanjutan," kata Yuni.
Ia juga menegaskan bahwa Kemenkes bekerja sama dengan Badan Gizi Nasional untuk memperkuat standar gizi dan keamanan pangan dalam penyelenggaraan MBG Selain mutu, Kemenkes menyoroti masih minimnya edukasi gizi di sekolah.
Berdasarkan temuan survei CISDI dan KPAI, sekitar 18,9% anak mengaku belum pernah menerima edukasi gizi, sementara sebagian lainnya hanya mendapat imbauan lisan tanpa praktik langsung.
"Edukasi ini penting agar anak tidak hanya menerima makanan, tapi juga memahami kenapa makanan bergizi itu penting," ujar Yuni.
Kemenkes juga sedang menyiapkan Survei Status Gizi Nasional tahun depan bersama BGN untuk menilai efektivitas MBG terhadap kondisi kesehatan anak. Survei ini diharapkan dapat mengukur dampak jangka panjang program terhadap prevalensi anemia dan status gizi pelajar.
Meski masih ada keluhan terkait rasa dan waktu distribusi makanan, beberapa daerah mulai mencontoh pola pelibatan masyarakat seperti di Bandung Barat.
"Praktik ini bisa jadi acuan nasional. Kalau setiap sekolah punya komite bersama orang tua dan siswa untuk mengecek kualitas makanan, potensi keracunan bisa ditekan," kata Yuni.
Sementara CISDI mengusulkan agar pelibatan komunitas ini diatur secara formal, tidak sekadar imbauan. Dalam forum tersebut, peneliti mencontohkan sistem sejumlah negara, di mana komite sekolah ikut menentukan menu dan menilai keamanan pangan
Upaya seperti ini dinilai penting agar MBG tidak hanya menjadi program pemberian makan, tetapi juga wadah pembelajaran tentang pola hidup sehat dan partisipasi warga.
"Anak-anak bukan hanya penerima manfaat, tapi mitra dalam memastikan hak mereka atas gizi yang aman dan layak," kata Yuni.
(miq/miq)