Ada Wacana Bahasa Isyarat Masuk Kurikulum Nasional, Ini Kata Ahli

Fergi Nadira, CNBC Indonesia
Senin, 13/10/2025 12:25 WIB
Foto: Suasana anak-anak beraktifitas di sekolah Prestasi Global, Pancoran Mas, Depok, Senin (4/8/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gagasan agar bahasa isyarat dimasukkan dalam kurikulum nasional kembali mencuat setelah disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno belum lama ini. Wacana ini dinilai menjadi langkah penting menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif di Indonesia.

Dosen Universitas Airlangga (UNAIR) sekaligus Ketua Koordinator Airlangga Inclusive Learning (AIL), Dr. Fitri Mutia AKS, M.Si, menyebut ide tersebut sejalan dengan semangat Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Aturan itu, kata ia, menjamin hak belajar yang setara bagi semua peserta didik, termasuk mereka yang tuli.

"Pemerintah perlu menyiapkan dukungan anggaran, sarana-prasarana, dan sumber daya manusia seperti guru dan dosen. Di dalamnya juga ada kewajiban menyediakan kurikulum yang inklusif. Jadi, kita harus siap memfasilitasi teman-teman tuli di lembaga pendidikan," jelas Fitri, dikutip dari laman resmi UNAIR, Senin (13/10/2025).

Fitri menilai, kebijakan semacam ini tidak cukup hanya dituangkan dalam regulasi. Diperlukan pula perubahan paradigma masyarakat terhadap penyandang tuli. Menurutnya, masih banyak pihak yang berpikir bahwa penyandang tuli yang harus menyesuaikan diri dengan dunia pendengaran, bukan sebaliknya.

"Padahal kemampuan berbahasa isyarat bukan hanya kewajiban bagi penyandang disabilitas tuli, tapi juga tanggung jawab bersama. Bahasa isyarat adalah cara komunikasi paling efisien. Membaca gerak bibir atau voice to text belum tentu akurat," ujarnya.

Ia juga menegaskan pentingnya melibatkan komunitas tuli dalam perumusan kebijakan dan proses pembelajaran bahasa isyarat. Seperti halnya bahasa lain, bahasa isyarat idealnya dipelajari langsung dari penutur aslinya.

"Tidak adil jika membuat kebijakan tanpa melibatkan mereka. Proses belajar dan mengajar bahasa isyarat seharusnya dilakukan oleh pihak yang sudah terverifikasi dan berpengalaman," katanya.

Fitri lebih jauh menjelaskan, penerapan bahasa isyarat dalam kurikulum harus dibarengi kesiapan di berbagai aspek Pendidikan, seperti mulai dari tenaga pendidik, kurikulum, hingga penerimaan peserta didik tuli di sekolah umum.

"Pendidikan inklusif artinya bukan lagi hanya di SLB. Teman-teman tuli juga harus bisa belajar di lingkungan pendidikan yang terbuka dan setara. Semua pihak harus menyiapkan diri," jelasnya.

Meski wacana tersebut belum terealisasi, Fitri tetap optimistis. Menurut ia, penerapan bahasa isyarat dalam kurikulum nasional bisa menjadi cikal bakal sistem pendidikan yang benar-benar inklusif.

"Kalau kedua belah pihak saling memahami, kondisi inklusif bisa tercapai. Masyarakat umum juga akan menumbuhkan empati yang lebih tinggi terhadap keberagaman," ungkapnya.



(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Clean Beauty, AI dan Masa Depan Industri Kecantikan Indonesia