
Kasus Anoreksia pada Pria Meningkat, Risiko Kematian Lebih Tinggi

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus gangguan makan seperti anoreksia sering dianggap masalah perempuan. Namun penelitian terbaru menunjukkan jumlah pria yang terdampak meningkat tajam di berbagai negara.
Kondisi ini bahkan membuat pria lebih rentan mengalami penyakit parah hingga kematian. Dave Chawner, seorang komedian asal Inggris, mulai mengalami anoreksia sejak remaja.
Awalnya ia hanya ingin menurunkan berat badan. Namun, pujian dari orang sekitar membuatnya semakin terobsesi. Ia terus menimbang berat badan, menghitung kalori, dan berolahraga berlebihan.
"Saya mulai menilai harga diri saya dari angka di timbangan. Dari seberapa sedikit saya makan atau berapa lama saya bisa menahan lapar," ujarnya dikutip dari Euronews Health, Kamis (28/8/2025).
Empat tahun kemudian, Chawner baru menyadari dirinya sakit. Ia mencari bantuan ke dokter dengan keluhan depresi, dan akhirnya didiagnosis anoreksia. Kini, ia menjalani pemulihan dan bahkan terlibat dalam riset yang memanfaatkan stand-up comedy sebagai terapi.
Angka Kasus pada Pria Meningkat Tajam
Data NHS England Digital tahun 2021 mencatat, jumlah rawat inap laki-laki dengan gangguan makan di Inggris naik 128 persen dalam lima tahun. Anoreksia dapat menyebabkan anemia, tekanan darah rendah, kerusakan organ, hingga kehilangan tulang.
Menurut organisasi Beat, butuh rata-rata 3,5 tahun sejak gejala muncul hingga penderita akhirnya mendapat perawatan. Penundaan ini sering terjadi karena banyak pasien, terutama pria, tidak menyadari dirinya sakit.
Lebih serius lagi, anoreksia termasuk gangguan psikiatri paling mematikan. Tingkat kematiannya bisa mencapai 10 persen dari semua kasus. Risiko bunuh diri pada penderita pria tercatat lima kali lipat lebih tinggi dibanding populasi umum.
Para ahli menilai stigma menjadi hambatan besar. Anggapan bahwa gangguan makan adalah "penyakit perempuan" membuat banyak pria enggan mencari pertolongan.
Survei Beat pada 2023 menemukan, 53 persen pria di Inggris merasa seseorang seperti mereka tidak mungkin mengalami gangguan makan. Bahkan 69 persen responden mengaku belum pernah mendengar kasus gangguan makan pada pria.
"Penderita gangguan mental memang kerap menghadapi stigma. Namun bagi pria dengan anoreksia, stigma itu berlipat ganda," kata Emilio Compte, profesor di Universidad Adolfo Ibáñez, Chile.
Ahli medis menekankan perlunya perbaikan alat diagnosis dan terapi yang lebih sesuai dengan kondisi pria. Misalnya, panduan medis dulu mencantumkan amenore (tidak menstruasi) sebagai salah satu indikator, yang jelas tidak relevan untuk pria.
Selain itu, terapi berbasis kelompok sering berorientasi pada perempuan sehingga membuat pria merasa terasing. Banyak juga kasus pria yang mengejar tubuh berotot atau ramping, bukan sekadar tubuh kurus, yang jarang diperhatikan dalam evaluasi medis.
"Seluruh sistem seolah mengecualikan pria dari diagnosis anoreksia nervosa. Ini yang menumbuhkan anggapan 'saya bukan sakit makan karena saya pria'," tambah Compte.
Meski anoreksia berbahaya, pakar menegaskan pemulihan tetap mungkin dan intervensi dini menjadi kunci. Chawner sendiri mengaku tersadar setelah dinasehati seorang perawat, "Kamu tidak akan berharap laptop bisa menyala tanpa diisi daya. Lalu kenapa berharap otakmu bekerja tanpa diberi makan?"
Kini, setelah bertahun-tahun terapi, ia merasa lebih jauh dari gangguan tersebut meski tetap harus berhati-hati. "Semakin cepat mencari bantuan, semakin baik," kata Compte menekankan.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Banyak yang Tidak Tahu, Pria Juga Bisa Terinfeksi HPV