Peraih Nobel Fisika Bagikan Pesan Buat Anak Muda RI, Begini Isinya!
Bandung, CNBC Indonesia - Brian Schmidt, peraih Nobel Fisika 2011, berdiri di hadapan ratusan peserta Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri (KSTI) 2025 di Institut Teknologi Bandung pada Jumat (8/8/2025) di ITB, Kota Bandung. Berselang ia membahas rumus atau teori astrofisika, ia bercerita dengan kisah masa kecilnya yang jauh dari bayangan kehidupan seorang ilmuwan.
"Saya bukan anak ajaib. Saya hanya anak biasa dari keluarga muda, tumbuh di pegunungan Montana dan Alaska tanpa listrik," kata Schmidt.
Ia bercerita tentang betapa sulitnya menggunakan teleskop saat musim panas di Alaska karena matahari tak pernah terbenam, atau di musim dingin saat suhu ekstrem bisa mencapai minus 40 derajat. Tapi dari tempat terpencil itu, ketertarikannya pada bintang-bintang tumbuh dan perlahan membawanya ke panggung dunia.
Meraih nobel di usia yang terbilang muda, Schmidt juga menolak label jenius. "Saya bukan seorang jenius. Saya hanya orang yang cukup pintar dan mau bekerja keras. Begitu juga kolega saya. Dunia ini berputar karena orang-orang biasa yang mau mencoba dan berkontribusi lewat hal yang mereka bisa," ujarnya.
Ia menekankan, kontribusi terhadap masyarakat tidak selalu datang dari panggung besar atau penemuan revolusioner. "Kita semua bisa berkontribusi dengan cara kita masing-masing. Saya mengajar fisika, saya membuat kursus daring, saya bantu ilmuwan lain berpikir bagaimana ilmu mereka bisa berdampak ke masyarakat," katanya.
Pesan untuk Anak Muda: Ambil Kesempatan, Percaya Diri
Di kesempatan konferensi pers, Schmidt menyampaikan pesan khusus untuk generasi muda Indonesia. "Ambil kesempatanmu. Percayalah pada dirimu sendiri. Tidak ada rumus baku untuk mengubah dunia. Tapi jika kamu memanfaatkan keahlianmu dan punya keberanian, kamu bisa membuat perubahan besar," ujarnya.
Baginya, kunci dari semangat ilmiah adalah rasa ingin tahu dan gairah untuk menemukan hal baru. "Tunjukkan pada anak-anak muda betapa serunya sains, betapa menegangkannya proses penemuan. Kalau mereka sudah merasakan itu, mereka tidak akan meninggalkan sains," katanya.
Schmidt menggarisbawahi bahwa pendidikan dan riset sains bukan hanya soal angka dan laboratorium. Sains, kata ia, adalah bagian dari budaya manusia.
"Dan siapapun, dari latar belakang manapun, bisa menjadi bagian dari perjalanan itu," ungkapnya.
Schmidt juga menjelaskan bahwa banyak teknologi yang kita nikmati hari ini mulai dari GPS, Wi-Fi, hingga kamera digital berakar dari riset dasar astronomi dan fisika yang dulunya dianggap tidak berguna.
"Teknologi CMOS di kamera smartphone, GPS yang pakai relativitas Einstein, bahkan Wi-Fi yang dikembangkan dari riset lubang hitam, semua itu berasal dari rasa ingin tahu," jelasnya.
Riset-riset itu awalnya tidak punya manfaat ekonomi langsung. Tapi puluhan tahun kemudian, ia menjadi fondasi industri teknologi bernilai triliunan dolar.
Ini menjadi pengingat penting, kata Schmidt, bahwa riset dasar harus terus didukung meskipun hasilnya tidak instan. "Banyak menteri dan pejabat bertanya, 'Kenapa harus riset lubang hitam?' Tapi jawabannya bisa Anda lihat hari ini, karena itu mendorong batas teknologi," katanya.
(haa/haa)