3 Cara Cerdas Berdebat dan Berargumen Menurut Psikolog

Fergi Nadira, CNBC Indonesia
04 July 2025 06:05
Business concept with copy space. Office desk table with pen focus and analysis chart, computer, notebook, cup of coffee on desk.Vintage tone Retro filter, selective focus. (Freepik)
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Saat menyusun argumen, baik dengan pasangan, rekan kerja, maupun anggota keluarga, banyak dari kita berpikir, "Fakta apa yang benar-benar tidak bisa mereka bantah?"

Kita membayangkan cara berdebat yang paling efektif adalah dengan menyampaikan informasi dengan tepat kepada lawan bicara. Namun, menurut profesor psikologi sosial di University of North Carolina Chapel Hill, Kurt Gray, anggapan itu adalah mitos besar.

"Kesalahan besar yang sering kita lakukan adalah menganggap fakta itu kuat dan bisa mengubah pendapat orang," kata Gray, penulis buku Outraged: Why We Fight About Morality and Politics and How to Find Common Ground, seperti dilansir CNBC Make It di Jakarta, Jumat (4/7/225).

Bahkan saat seseorang mengetahui hasil riset atau temuan studi yang mendukung suatu klaim, mereka tetap bisa memilih untuk tidak mempercayainya. Sebuah laporan pada 2018 di Journal of Management menguatkan hal ini.

"Anda menyebutkan fakta Anda, lalu mereka bilang, 'Itu nggak benar. Itu hoaks. Itu data karangan,'" jelas Gray. "Karena kita hidup di ekosistem media yang berbeda-beda, pemahaman soal 'fakta' pun tidak lagi universal," imbuhnya.

Lalu, bagaimana sebenarnya cara berdebat atau berargumen dengan seseorang yang tidak sepaham?

Kuncinya adalah memandang mereka bukan sebagai lawan, tapi sebagai sesama manusia.

"Kita semua pada dasarnya hanya ingin melindungi diri sendiri, keluarga, anak-anak, dan masyarakat. Hanya saja, kita terfokus pada jenis 'ancaman' yang berbeda-beda," kata Gray.

Untuk menjembatani perbedaan dalam percakapan, kita perlu benar-benar memahami ketakutan atau kekhawatiran orang lain. "Seringkali kita datang ke percakapan bukan untuk berbicara, tapi untuk menang. Kita ingin mencetak poin, membuat orang lain terlihat bodoh. Padahal percakapan yang nyata adalah ketika kita mau bertanya," lanjut ia.

Gray menyarankan tiga langkah agar percakapan dengan orang yang berbeda pandangan jadi lebih bermakna:

1. Pahami motivasi mereka: Tanyakan dengan tulus bagaimana mereka sampai pada kesimpulannya.
2. Validasi motivasi itu: Meskipun Anda tidak setuju dengan pandangannya, tunjukkan bahwa Anda bisa memahami jalan berpikirnya.
3. Tekankan koneksi personal: Alih-alih menyodorkan data dan statistik, ceritakan alasan pribadi mengapa Anda berpandangan berbeda.

Menurut Gray, orang akan lebih terbuka menerima sudut pandang Anda jika Anda berbagi pengalaman pribadi ketimbang menyampaikan data kaku. "Membangun koneksi, melihat orang lain sebagai sesama manusia, itu sangat berpengaruh," katanya.

Hasil akhirnya? Kedua belah pihak akan merasa lebih dihargai, meskipun belum tentu sepakat. Ia menyarankan, jika kita masuk ke percakapan untuk 'menang', Anda sudah kalah sejak awal. Karena dalam isu moral, tak ada orang yang mau mengaku kalah.

"Daripada ingin menang, cobalah untuk memahami," pungkas Gray.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular