Ada 204 Kasus Femisida Sepanjang 2024, Ini Provinsi Paling Rentan

Fergi Nadira, CNBC Indonesia
Senin, 30/06/2025 13:25 WIB
Foto: Ilustrasi (Photo by Milada Vigerova on Unsplash)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jakarta Feminist mencatat 204 kasus femisida sepanjang tahun 2024 di Indonesia. Sebagian besar pelaku adalah laki-laki yang memiliki hubungan dekat dengan korban.

Berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.


Laporan Jakarta Feminist mengungkap, sebanyak 48% pelaku femisida adalah pasangan atau mantan pasangan korban, dan 53% kasus terjadi di rumah korban, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman.

Beberapa motif pembunuhan juga berakar dari persoalan yang terlihat sepele, seperti korban ditegur karena kekerasan dalam rumah tangga atau live di media sosial. Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi adalah Jawa Barat (32 kasus), disusul Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Namun lebih dari sekadar angka, laporan ini menyoroti bahwa sebagian besar pembunuhan terhadap perempuan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan puncak dari kekerasan yang terus dibiarkan.

"Femisida bukan hanya soal kematian, tapi proses panjang kekerasan yang kerap diabaikan dimulai dari kontrol emosional, fisik, hingga akhirnya merenggut nyawa," ujar Syifana Ayu Maulida dari Jakarta Feminist dalam Laporan Femisida secara hybrid pada Senin (30/6/2025).

Namun jika melihat tingkat kerentanan (jumlah kasus dibandingkan jumlah penduduk perempuan), Papua Selatan menjadi wilayah paling rawan dengan angka kerentanan 0,76 per 100.000 perempuan, diikuti Papua Barat Daya dan Bangka Belitung. Situasi ini diperparah oleh konteks militerisme di Papua yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan terjadi berlapis dan sulit diakses keadilan.

Laporan ini juga menyoroti bagaimana media kerap memberitakan kasus femisida dengan cara yang merugikan korban. Sebanyak 35% pemberitaan dinilai hiperbolik dan 23% tidak melindungi privasi korban. Hal ini menambah beban keluarga yang ditinggalkan dan mengaburkan pemahaman publik soal kekerasan berbasis gender.

"Minimnya peliputan yang etis dan sensitif gender menunjukkan bahwa media masih sering gagal berpihak pada korban. Sensasi lebih diutamakan ketimbang empati dan konteks," kata Syifana.

Laporan ini juga menunjukkan banyak kasus diawali dengan kekerasan ringan yang tak pernah ditangani secara serius. Beberapa korban dibunuh karena dianggap menantang pelaku, seperti marah karena anak mereka dipukul atau karena melakukan siaran langsung di media sosial.

"Selama budaya patriarki, relasi kuasa yang timpang, dan sistem hukum yang tak berpihak dibiarkan, maka pembunuhan terhadap perempuan akan terus terjadi," tambah Syifana.


(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ribuan Warga Iran Hadiri Pemakaman Para Komandan Militer