Fenomena Gen Z Nangisin Prabowo, Pengamat Bilang Gini

Rindi Salsabilla, CNBC Indonesia
10 January 2024 15:05
Bakal calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto nomor urut 2, saat menyampaikan visi dan misi dalam debat ketiga yang digelar di Istora Senayan, kompleks Gelora Bung Karno (GBK) pada Minggu (7/1/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto nomor urut 2, saat menyampaikan visi dan misi dalam debat ketiga yang digelar di Istora Senayan, kompleks Gelora Bung Karno (GBK) pada Minggu (7/1/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah debat putaran ketiga Pilpres 2024, fenomena masyarakat muda atau Generasi Z (Gen Z) Indonesia yang menangisi calon presiden (capres) nomor urut dua, Prabowo Subianto, menjadi salah satu perbincangan utama di media sosial.

Diketahui, TikTok dan X (sebelumnya Twitter) diramaikan oleh unggahan para Gen Z yang menangis karena bersimpati kepada Prabowo setelah diserang melalui kritik oleh capres lainnya, yakni Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo saat debat ketiga Pilpres 2024, Minggu (7/1/2024) lalu.

Sebenarnya, apa alasan Gen Z bersimpati hingga menangis setelah melihat Menteri Pertahanan (Menhan RI) itu dikritik habis-habisan saat debat capres?

Pegiat dan pemerhati media, Albertus Prestianta, mengungkapkan bahwa kecenderungan untuk membagikan perasaan dan mengungkapkan suka duka adalah bentuk solidaritas khas masyarakat Indonesia. Dan solidaritas itu, kata dia, makin tampak di era media sosial.

"Media digital memberikan kesempatan dan kemudahan untuk membagikan apa yang individu rasakan. Sifatnya yang personal membuka ruang-ruang ekspresif setiap orang untuk berbagi perasaan," jelas Albert, dalam unggahan di akun Instagram pribadi (@prestianta), Rabu (10/1/2024).

"Lihatlah unggahan tangis pasca debat dan komentar yang muncul di dalamnya, itu adalah bentuk ekspresi kesamaan nilai dan keinginan merawatnya," imbuhnya.

Lebih lanjut, Albert mengatakan, masyarakat Indonesia era 1900-an adalah kelompok kecil dari sekumpulan orang yang menetap di suatu wilayah. Pada saat itu, model komunikasi masyarakat Tanah Air adalah berkumpul dan bercerita.

"Hal yang dibicarakan umumnya adalah kehidupan keseharian, nilai-nilai diri dan kelompok. Kelompok kecil ini akhirnya saling terhubung satu dengan yang lain atas dasar kesamaan nilai," jelas Albert.

Dalam opininya, Dosen Universitas Multimedia Nusantara sekaligus Mahasiswa PhD di Queensland University of Technology, Australia ini mengutip catatan cendekia, Robert van Niel pada 1985. Dalam catatannya, van Niel menilai bahwa masyarakat Indonesia memiliki satu nilai kesamaan meskipun berbeda secara etnis dan kelompok. Selain itu, orang Indonesia juga disebut kuat dalam bersimpati dengan sesama anggota masyarakat.

"Menurut van Niel, dasar nilai ini mengikat setiap anggota kepada kelompok, kelompok kepada kelompok yang lain sehingga membentuk solidaritas yang kuat [dan] kohesif membentuk dasar kehidupan masyarakat Indonesia," tulis Albert.

Menurut Albert, sejak saat itulah nilai tenggang rasa atau tepo seliro mulai menjadi kultur diri yang turun temurun di tengah kehidupan sosial masyarakat Indonesia hingga saat ini. Bedanya, perasaan simpati di masa kini dapat disalurkan melalui media sosial.

"Ketika nilai hidup disakiti, dilukai, dan dicabik-cabik maka tak heran luapan emosi yang beragam tak terbendung muncul. Media sosial digunakan sebagai medium ekspresif untuk meluapkan perasaan yang tercabik-cabik tadi," kata Albert.

Meski begitu, Albert mengimbau masyarakat Indonesia untuk berwaspada terhadap potensi politisasi menggunakan nilai tenggang rasa. Terlebih, nilai hidup masyarakat terkait tenggang rasa, budi pekerti, dan hidup bermartabat bersifat solid.

"Perlu hati-hati hal semacam ini rawan dipolitisasi. Jadilah individu yang cermat dan kritis," tegas Albert.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Alasan Utama Gen Z Rentan Kena Masalah Mental Menurut Studi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular