Mengunjungi Desa Devisa Wedani, Surga Kain Tenun di Gresik

Gresik, CNBC Indonesia - Wedani adalah salah satu desa sentra produksi kain tenun di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, yang ditetapkan sebagai Desa Devisa pada November 2021 lalu oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Fungsional Ahli Bidang Jasa Konsultasi LPEI, R. Gerald Grisanto, mengatakan bahwa selama masa pendampingan oleh LPEI, Desa Devisa Wedani telah mengalami peningkatan penjualan kain tenun sebesar 29 persen.
"Selama pendampingan, kita lihat memang penjualan dari koperasi naik sampai 29 persen. Kalau penjualan, tahun ini pada 2023 sudah mencapai Rp450 juta," kata Gerald dalam acara Press Tour Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Desa Devisa Wedani, Rabu (13/9/2023).
![]() |
Selama masa pendampingan periode 2021 hingga 2022, LPEI dan fasilitator memberikan bimbingan kepada para penenun di Desa Devisa Wedani berupa pelatihan manajerial koperasi, akuntansi keuangan, desain dan produk, peningkatan kualitas, hingga fasilitasi pameran Presidensi G20.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Bupati Gresik, Aminatun Habibah, mengungkapkan bahwa Desa Devisa kelima di Indonesia ini memiliki potensi unggul berupa ragam jenis tenun yang diproduksi secara turun-temurun oleh pengrajin setempat.
Aminatun menilai, potensi yang dimiliki Wedani sebagai sentra pengrajin tenun mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan devisa negara melalui ekspor.
"Desa Wedani memiliki potensi unggulan, yakni tenun yang diproduksi oleh pengrajin secara turun-temurun sehingga memiliki akses penjualan ekspor yang mendatangkan devisa negara," ujar Aminatun dalam kesempatan yang sama.
Tantangan Desa Devisa Wedani
![]() |
Di balik potensi yang tinggi, Gerald mengaku bahwa tantangan utama bagi penjualan produk dari Desa Devisa Wedani hingga saat ini adalah indirect ekspor, yakni proses ekspor ke luar negeri yang masih harus melalui pembeli pertama di dalam negeri.
"Indirect itu produk dibeli dan diekspor pembeli. Jadi, produksinya sudah dikirim ke luar, sudah dapat devisa, tetapi eksportirnya bukan dari koperasi," papar Gerald.
Selain indirect ekspor, Pembina Koperasi Wedani Giri Nata (WGN), Mas Ariyatin, mengatakan bahwa merek dan kualitas produk juga menjadi tantangan besar bagi UKM di Desa Devisa Wedani.
"Tantangannya adalah kita enggak punya merek. Jadi, kita cuma produksi. Merek dan packaging (kemasan) dibikin orang lain dan mereka juga yang ekspor," ungkap Mas Ariyatin.
"Selain itu, kendala kita juga ada di kualitas yang enggak sama. Jadi, masing-masing UKM itu belum ada standarisasi kualitas produk," lanjutnya.
Mas Ariyatin mengungkapkan, penyebab kualitas produk yang tidak setara adalah pewarnaan pada kain tenun. Dengan demikian, pihaknya berencana untuk menjalin kerja sama dengan BUMN untuk menyediakan satu tempat pewarnaan khusus demi menyeragamkan standar kain tenun Desa Devisa Wedani.
Lalu, bahan baku yang masih diimpor dari China dan India, yakni benang sutra, benang mesres, dan pewarna juga masih menjadi tantangan bagi pengrajin, terutama yang bergabung dengan Koperasi Wedani Giri Nata (WGN). Sebab, biaya yang diperlukan untuk membeli bahan baku dinilai cukup tinggi.
"Kadang-kadang itu kita waktunya belum tepat. Kadang butuh [bahan bakunya] bukan saat musim panen benang, kapas, atau sutra-nya. Jadi harga itu melambung," beber Mas Ariyatin.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa besaran biaya produksi berbeda-beda tergantung jenis motif. Bagi kain tenun berbahan dasar sutra, biaya produksi yang dibutuhkan sekitar Rp350 ribu, sementara bahan dasar benang mesres sekitar Rp200 ribu.
Hingga saat ini, hampir 95 persen penduduk Desa Devisa Wedani adalah pengrajin dan penenun kain tenun. Menurut catatan Bea Cukai, masing-masing 60 pengrajin dan 1.500 tenaga kerja di Desa Devisa Wedani mampu menghasilkan 200 lembar kain tenun.
Guna meningkatkan penjualan, pengrajin desa sudah menjajaki e-commerce Alibaba untuk ekspor produk sejak 2021. Mas Ariyatin menyebutkan, harga yang dibanderol untuk setiap produk tenun dari Desa Devisa Wedani adalah Rp200 ribu hingga Rp1,5 juta per produk.
Dari penjualan tersebut, para pengrajin disebut memperoleh keuntungan sekitar Rp25 ribu hingga Rp75 ribu per barang.
Tentang Desa Wedani
CNBC Indonesia berkesempatan untuk mengunjungi Desa Devisa Wedani dalam rangka Press Tour Kementerian Keuangan pada Rabu (13/9/2023) lalu. Dari pusat kota Surabaya, kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam dengan jarak 39 kilometer untuk menuju ke Desa Devisa Wedani.
Setibanya di Desa Devisa Wedani, kami disambut oleh gapura sederhana berwarna merah dan putih yang bertuliskan "Selamat Datang di Desa Maju Binaan Telkom, Sentra Pengrajin Tenun, Desa Wedani, Kecamatan Cerme, Gresik".
Dari depan gapura, terlihat bentangan jalan yang mampu dilewati dua mobil. Suasana terlihat cukup asri dengan pemukiman yang tidak terlalu padat. Namun, desa ini tidak terlalu menunjukkan ciri khas sebagai sentra pengrajin tenun. Sebab, desa ini terlihat seperti desa pada umumnya.
Berdasarkan informasi dari Bea Cukai yang diterima CNBC Indonesia, Desa Devisa Wedani memiliki total penduduk sebanyak 3.400 orang dengan sekitar 2.170 di antaranya adalah penenun. Selain penenun, masyarakat Desa Devisa Wedani ini juga berprofesi sebagai petani atau petambak udang dan ikan bandeng.
Menurut informasi yang sama, para penenun umumnya memproduksi kain tenun di gudang khusus. Namun, beberapa di antaranya juga mengerjakan di rumah masing-masing.
Sebagai informasi, Desa Devisa adalah program yang digagas oleh LPEI sejak 2019 untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing komoditas di suatu wilayah.
Hingga Desember 2021, LPEI telah meluncurkan program Desa Devisa di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali, yaitu Desa Devisa Kopi Subang, Desa Devisa Agrowisata Ijen Banyuwangi, Desa Devisa Tenun Gresik, Desa Devisa Garam Kusamba Klungkung, dan Desa Devisa Rumput Laut Sidoarjo.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
