
Kisah Orang Eropa Ramai-Ramai Datang ke Indonesia Demi Sambal

Jakarta, CNBC Indonesia - Orang Indonesia punya comfort food yang tak kalah mengesankan dibanding kuliner luar negeri. Salah satunya, sepaket makanan dengan nasi putih hangat, ayam goreng atau ikan asin, sayur asam, tahu tempe, dan tak lengkap tanpa sambal. Khusus yang terakhir, barangkali tak ada duanya.
Sambal memberikan rasa pedas membakar yang bisa membuat mata melotot dan isi kepala seakan ingin terbuka. Meski bagi sebagian orang ini menyiksa, di sinilah letak keistimewannya. Campuran cabai, tomat, gula garam, dan terasi yang diulek ini bisa membuat setiap masakan jadi berkali lipat enaknya. Bagi para penikmat pedas, tentu ini adalah suatu kenikmatan. Hal ini juga dialami oleh bagi orang-orang Eropa yang datang jauh ke Indonesia dan menemui sambal.
Menurut Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2016), pada akhir abad ke-19 sambal begitu populer di kalangan orang Eropa yang berkunjung ke Batavia. Dalam salah satu catatan, diketahui mereka sangat antusias mencicipi sambal yang ditata di dalam piring-piring kecil di atas meja.
![]() Ilustrasi Sambal. (Dok. Freepik) |
Tingginya antusias itu tentu berkaitan dengan sifat sambal dalam hidangan menu Indonesia di masa kolonial yang terhampar dalam rijsttafel. Rijsttafel adalah cara penyajian makanan asli Indonesia kepada orang Belanda. Jadi, dalam satu meja makan, akan tersedia puluhan piring berisikan menu makanan beragam untuk disantap orang Belanda. Dan salah satu hidangan pelengkapnya adalah sambal.
Keberadaan sambal, menurut penulis buku resep masakan Catenius dalam Makanlah Nasi! (1922), difungsikan sebagai pencuci mulut yang rasanya panas. Mungkin ini terdengar aneh karena memasukkan sambal sebagai hidangan pencuci mulut setara dengan es krim di Eropa. Namun, Catenius punya alasan kuat menyebut ini. Sebutan "pencuci mulut" digunakan karena hidangan asli Indonesia bersifat "sajian dingin."
Maksudnya, orang Indonesia yang beriklim tropis biasa menyantap atau memberikan makanan bersuhu dingin. Berbeda dengan orang Eropa yang selalu menyantap makanan bersuhu panas karena cuaca di sana sangat dingin. Jadi, ketika menyantap nasi hangat, telur dadar, ayam goreng, tahu-tempe dan sebagainya yang semua bersifat dingin, orang Eropa memasukkan sambal ke mulut mereka untuk mendapat rasa panas. Tujuannya supaya mendapat kombinasi hidangan yang pas dari pedasnya rasa sambal yang terbakar, seperti menyantap makanan Eropa.
Kendati demikian, tak sedikit orang Eropa, khususnya Belanda, yang menyebut sambal sebagai teror. Mereka yang tidak terbiasa makan sambal sudah pasti akan terkejut atas pedasnya sambal karena mengganggu pencernaan mereka. Salah satunya dialami Augusta de Wit, seorang turis dari Belanda.
Sebagaimana dikutip dari paparan Achmad Sunjayadi dalam Pariwisata di Hindia Belanda (2019), de Wit yang baru pertama kali datang ke Hindia Belanda menyebut kalau sambal telah membuat dirinya menjadi orang sengsara paling hina. Sebab, rasa pedas sambal membuat bibirnya pedih dan kerongkongannya terbakar.
"Beruntung, salah seorang tamu lain yang melihat kondisinya menyarankan de Wit membubuhi sedikit garam di lidah. Dia pun menuruti dan siksaan itu berakhir. De Wit lega dan bersumpah tidak akan lagi mencicipi rijsttafel dengan sambal," tulis Achmad Sunjayadi.
Dari kasus de Wit bisa diketahui bahwa memakan sambal bisa dilakukan orang setiap orang. Namun, untuk bisa menikmatinya itu lain cerita. Kasusnya sama seperti makanan-makanan viral yang menyuguhkan sambal pedas tak terkira, seperti sambal setan dan sebagainya. Semuanya hanya mengutamakan sensasi rasa terbakar yang belum tentu lezat. Sebab, tulis Nuran Wibisono dalam Selama Ada Sambal, Hidup Akan Baik-Baik Saja (2021), sambal yang baik dan enak adalah perwujudan dari keseimbangan. Jika rasa cabainya berlebih, tentu tidak akan enak.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kisah Raja Belgia Doyan Pedas & Bikin Sayembara Makan Sambal!