Menkes Blak-blakan: Jadi Dokter Spesialis di RI Susah & Mahal

Linda Sari Hasibuan, CNBC Indonesia
Selasa, 11/07/2023 13:15 WIB
Foto: Budi Gunadi Sadikin (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan secara perinci perihal kondisi terkini pelayanan kesehatan masyarakat, terutama terkait ketersediaan dokter hingga dokter spesialis. Semua itu dibeberkan BGS, sapaan Budi Gunadi Sadikin, dalam program Economic Update CNBC Indonesia, Senin (10/7/2023).



Dia mengakui ada kekurangan dokter hingga dokter spesialis di tanah air. Pengakuan itu didasarkan oleh temuan langsung saat melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah.

"Di mana-mana kalau suplainya kurang, yang terjadi seperti itu. Saya sudah jalan, bukan jalan ke kota-kota besar, ke Nias, ke NTT, ke pedalaman Kalimantan, saya ingin lihat apa yang terjadi di masyarakat, ya mereka susah dapat akses," ujar BGS.

"Jangankan ngomong kualitas, saya kan ke Nias Utara lihat RSUD ada ruang operasinya, ada alat anestesinya terbungkus plastik, dari tahun 2007 atau 2009. Saya tanya kenapa nggak dibuka? Karena nggak ada dokter spesialis bedah kata mereka," lanjutnya.

Oleh karena itu, BGS enggan menyalahkan apabila masyarakat yang terkena penyakit berat mengunjungi dukun.

"Karena akses kesehatan terutama di luar Jawa itu kan rendah sekali. Itu yang saya merasa adalah kewajiban kita negara untuk memberikan layanan tersebut. Dan kita kurang di semua hal. Kurang di alat kesehatan, yang lebih kurang lagi di dokter. Jadi memang harus ada percepatan, peningkatan jumlah dokter," katanya.

Mantan Wakil Menteri BUMN itu menuturkan, mengacu kepada standar WHO, jumlah dokter ideal 1/1.000. Dengan demikian, Indonesia membutuhkan 270 ribu dokter.

"Kita paling 160 ribu sampai 170 ribu. Masih kurang 120 ribu lebih, produksinya cuma 12 ribu setahun. Berarti butuh 10 tahun. Lama kan itu," ujar BGS.

Lantas, mengapa peningkatan jumlah dokter berlangsung lama?

BGS bilang ada perencanaan yang kurang baik.

"Itu yang saya introspeksi dulu. Kita nanti akan perbaiki. Tapi saya sudah hampir final perencanaan dokter, dokter spesialis, sudah jadi. Kalau ini jadi, ini gap-nya besar sekali," katanya.

Oleh karena itu, eks direktur utama Bank Mandiri itu menekankan mesti ada akselerasi di bidang produksi dokter dan dokter spesialis.

"Harus diakselerasi. Ada yang bilang diakselerasi, kualitasnya jelek, ya nggak bisa begitu. Harusnya kita akselerasi dengan kualitas yang bagus," ujar BGS.

"Tapi tidak bisa dibilang jangan akselerasi, kemudian kualitasnya jelek, kemudian kita tunggu 100 tahun merdeka, tetap saja dokter di puskesmas nggak lengkap, dokter gigi di puskesmas nggak lengkap," lanjutnya.

Menurut BGS, Kementerian Kesehatan sudah menyiapkan beberapa program percepatan produksi dokter spesialis. Salah satunya membuka pendidikan spesialis yang bisa dilakukan kolegium-kolegium di rumah sakit, tidak hanya di perguruan tinggi.

"Karena sekali lagi, Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia di mana kalau ingin menjadi dokter spesialis, harus bayar uang kuliah ke fakultas kedokteran. Di luar negeri tidak ada setahu saya. Itu sebabnya kalau kita tanya jadi dokter spesialis itu susah dan mahal," kata BGS.

"Karena fakultas kedokteran yang bisa melakukan pendidikan dokter spesialis mungkin cuma 20 atau 21. Lulusannya mungkin 2.900 setahun, padahal gap-nya kita mungkin lebih dari 30 ribu sampai 40 ribu," lanjutnya.



(miq/miq)
Saksikan video di bawah ini:

Video: BLACKPINK Comeback! Lagu Baru Bakal Guncang Panggung Dunia