Suhu Ekstrem Bakar Asia, Terakhir Kali Terjadi 200 Tahun Lalu

Linda Hasibuan, CNBC Indonesia
09 June 2023 07:20
Warga menggunakan payung untuk menghindari paparan sinar matahari di kawasan Jakarta, Senin (17/4/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Warga menggunakan payung untuk menghindari paparan sinar matahari di kawasan Jakarta, Senin (17/4/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gelombang panas membakar sejumlah wilayah di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akhir-akhir ini. Pada periode ini, suhu meningkat sangat drastis.

Melansir CNN Internasional, tercatat suhu siang hari melonjak hingga lebih dari 40 derajat Celcius di Vietnam. Suhu rata-rata pada bulan Mei di Hanoi menginjak 32 derajat Celcius.

Biasanya April dan Mei merupakan bulan-bulan terpanas dalam setahun di Asia Tenggara, karena suhu naik sebelum musim hujan. Namun tahun ini, suhu mencapai level yang belum pernah dialami sebelumnya di sebagian besar negara di kawasan ini.

Menurut analisis data stasiun cuaca oleh ahli iklim dan cuaca Maximiliano Herrera, pada 15 April 2023, Thailand mencatat hari terpanas dalam sejarah di titik 45,4 derajat Celcius, sementara Laos mencapai 43,5 derajat Celcius selama dua hari berturut-turut pada bulan Mei, dan rekor sepanjang masa Vietnam dipecahkan pada awal Mei dengan suhu tembus 44,2 derajat Celcius.

Herrera menyebut periode ini sebagai gelombang panas paling brutal. Pada 1 Juni lalu, Vietnam memecahkan rekor untuk hari Juni terpanas dalam sejarah dengan suhu tembus 43,8 derajat Celsius.

Laporan terbaru dari World Weather Attribution (WWA), kelompok ilmuwan internasional, menyatakan bahwa gelombang panas pada April di Asia Tenggara merupakan peristiwa yang terjadi sekali dalam 200 tahun. Dan kondisi mengerikan ini hampir tidak mungkin terjadi tanpa adanya krisis iklim yang disebabkan oleh manusia.

Panas berbahaya bagi kesehatan

Warga beraktivitas saatb gelombang panas di Kota Shanghai, China, Senin (29/5/2023). (AFP via Getty Images)Foto: Warga beraktivitas saatb gelombang panas di Kota Shanghai, China, Senin (29/5/2023). (AFP via Getty Images)

Panas terik di Asia Tenggara menjadi semakin tak tertahankan, bahkan bisa menyebabkan mematikan. Panas lembab menyebabkan tekanan yang ekstrem, membuat tubuh semakin sulit untuk mendinginkan diri.

Penyakit yang berhubungan dengan panas, seperti heat stroke dan heat exhaustion, memiliki gejala yang parah dan dapat mengancam nyawa, terutama bagi penderita penyakit jantung dan masalah ginjal, diabetes, dan orang hamil.

"Ketika kelembapan di sekitar sangat tinggi, tubuh akan terus mengeluarkan keringat untuk melepaskan kelembapan untuk mendinginkan diri, namun karena keringat tidak menguap akhirnya akan menyebabkan dehidrasi parah, dan pada kasus akut dapat menyebabkan serangan panas dan kematian," kata Mariam Zachariah, rekan peneliti di Imperial College London.

Cuaca ekstrem banyak menyerang orang miskin dan rentan

Pekerja membongkar balok es di pasar basah saat terjadi gelombang panas di Bangkok, Thailand, Kamis, 27 April 2023. Pemerintah Thailand akan memangkas tarif listrik menjelang pemilihan umum bulan depan, dalam upaya meringankan penderitaan konsumen dan bisnis yang bergulat dengan suhu yang terik. (Andre Malerba/Bloomberg via Getty Images)Foto: Pekerja membongkar balok es di pasar basah saat terjadi gelombang panas di Bangkok, Thailand, Kamis, 27 April 2023. (Bloomberg via Getty Images/Bloomberg)

Peristiwa cuaca ekstrem juga mengungkap ketidaksetaraan sistemik. Bahkan kelompok miskin dan rentan menjadi korban paling parah dari suhu ekstrem ini.

"Pekerjaan, usia, kondisi kesehatan dan kecacatan, akses ke layanan perawatan kesehatan, status sosial ekonomi, bahkan jenis kelamin menjadi faktor yang dapat membuat orang lebih atau kurang rentan terhadap gelombang panas," kata Chaya Vaddhanaphuti, salah satu penulis laporan World Weather Attribution (WWA) dan dosen di Departemen Geografi di Universitas Chiang Mai di Thailand.

Kelompok masyarakat yang terpinggirkan, mereka yang tidak memiliki akses yang memadai ke fasilitas kesehatan dan sistem pendingin, dan mereka yang bekerja dengan kondisi yang sangat panas dan lembab adalah yang paling berisiko mengalami tekanan panas.

"Penting untuk berbicara tentang siapa yang dapat beradaptasi, siapa yang dapat mengatasi, dan siapa yang memiliki sumber daya untuk dapat melakukan ini," kata Emmanuel Raju, juga penulis dan direktur Pusat Penelitian Bencana Kopenhagen, dalam konferensi pers pada 17 Mei.

Sebuah studi tahun 2021 menemukan bahwa pekerja luar ruangan di negara berkembang memiliki suhu tubuh inti yang lebih tinggi daripada mereka yang bekerja di dalam ruangan. Dan mereka dua hingga tiga kali lebih berisiko mengalami dehidrasi, yang mengarah pada kemungkinan penurunan fungsi ginjal dan kondisi terkait lainnya yang lebih tinggi.



(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cuaca Panas 'Serang' RI, Begini Tips agar Tak Dehidrasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular