Sudah 40 Tahun, Misteri Medis Ini Belum Terpecahkan Peneliti
Jakarta, CNBC Indonesia - Selama ini kisah orang-orang yang mampu hidup panjang umur selalu digambarkan di negara makmur. Atau mereka yang tinggal di lingkungan yang punya tradisi diet tertentu, seperti yang dialami penduduk Okinawa, Jepang, atau warga Ikaria di Yunani.
Tingginya pendapatan, mudahnya akses layanan kesehatan, tingginya literasi kesehatan, dan kuatnya dukungan dari lingkungan tentu membuat angka harapan hidup seseorang, seperti di dua wilayah itu, bisa meningkat.
Lalu, apa jadinya jika seluruh faktor-faktor itu saling bertentangan? Inilah yang terjadi pada warga Amerika Serikat keturunan Amerika Latin, termasuk orang Meksiko, Kuba, Puerto Rico, dan lain-lain.
Fenomena ini pertama kali diungkap oleh peneliti di University of Maine, Kyriacos Markides, dalam risetnya tahun 1986 berjudul "The Health of Hispanic in the Southwestern United States: an Epidemiologic Paradox." Diketahui bahwa penduduk atau imigran asal Spanyol itu memiliki umur lebih panjang dibandingkan penduduk kulit putih dari etnis lain. Namun yang membuat bingung Markides adalah fakta lanjutan bahwa mereka tidaklah hidup ditunjang oleh faktor-faktor yang dipaparkan di atas.
Mereka justru berada dalam jerat kemiskinan, akses kesehatan yang minim, dan rendahnya tingkat pendidikan. Dengan kondisi ini, praktis dan logis, angka harapan hidup penduduk keturunan seharusnya Hispanik rendah.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Bahkan jika ditinjau dari angka kematian bayi dan peluang mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler, angkanya pun lebih rendah. Oleh karena itu, fenomena ini memunculkan suatu misteri yang disebut Markides sebagai "Hispanic Health Paradox."
Markides sendiri menyimpulkan penyebab fenomena ini karena keturunan Hispanik punya semacam perlindungan diri. Mereka punya gaya hidup lebih sehat, serta tidak sering merokok dan minum alkohol. Ditambah lagi mereka pun punya dukungan keluarga yang kuat, sehingga tidak mudah stres.
Meski begitu, kesimpulan ini dipatahkan oleh peneliti lain dengan argumen sederhana: banyak penduduk etnis lain di banyak negara yang punya gaya hidup serupa, tetapi ujungnya mereka tidak berumur panjang.
Mereka yang menolak pun menyebut penelitian itu salah hitung. Sebab, warga Hispanik punya kebiasaan pulang kampung jika kondisi sakit-sakitan, sehingga angka kematiannya di AS tergolong kecil. Akibatnya, hasil riset Markides itu menimbulkan pro dan kontra, sehingga menjadi misteri hingga kini karena belum bisa sepenuhnya dijelaskan.
Namun, berbagai penelitian kontemporer justru kian mendukung kebenaran dari penelitian Markides tersebut.
Sebagaimana dipaparkan The Lancet, pada 2015 Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS menerbitkan laporan bahwa kaum Hispanik memiliki risiko kematian 24% lebih rendah dibandingkan dengan etnis lain. Padahal, akses mereka ke layanan kesehatan sangat rendah dan lebih dari 40% individunya tidak punya asuransi kesehatan. Laporan tersebut juga mengungkap kalau mereka memiliki risiko lebih rendah terkena 9 dari 15 penyebab kematian utama di AS, khususnya kanker dan jantung.
Laporan ini diperkuat oleh penelitian dari Oxford University (2021) yang menyebut kaum Hispanik memiliki peluang lebih rendah terkena kanker paru-paru. Bahkan berdasarkan laporan American Heart Association (2022), saat pandemi COVID-19 yang menewaskan jutaan penduduk di Negeri Paman Sam, kaum Hispanik pun tergolong aman dari serangan virus.
Saat itu, mereka justru tercatat punya harapan hidup lebih tinggi yakni 82 tahun. Jauh lebih tinggi dibanding rata-rata harapan hidup mayoritas warga AS sebesar 79 tahun.
Kendati demikian, bukan berarti kaum Hispanik kebal dari penyakit.
Mengutip BBC, mereka justru disebut rentan terkena diabetes, penyakit hati kronis, tekanan darah tinggi, obesitas, dan kolesterol tinggi, serta faktor non-penyakit, yakni kejahatan. Seluruh hal-hal inilah yang membuat kaum Hispanik sering kehilangan nyawa jika mengalaminya.
Meski begitu, jawaban atas alasan mengapa mereka punya harapan hidup lebih tinggi masih tidak diketahui dan jadi bahan perdebatan. Terlepas dari apa alasannya, kata Olveen Carrasquillo kepada American Heart Association, siapapun memang harus menjalani gaya hidup lebih sehat agar bisa panjang umur.
(mfa/mfa)