
Ekonomi Indonesia Melesat, Tapi Kok Peringkat di FIFA Anjlok?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepak bola Indonesia kembali menjadi sorotan dunia dan masyarakat tanah air. Setelah status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 dicabut oleh FIFA, tim nasional (timnas) Indonesia U-20 pun resmi dibubarkan pada Sabtu (1/4/2023) lalu.
Keputusan dibubarkannya timnas disampaikan oleh pelatih, Shin Tae Yong, dalam sesi latihan bersama Timnas Indonesia U-20 dan Timnas Indonesia U-22 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Jakarta, Sabtu (1/4/2023) sore.
"Setelah ini akan dibubarkan para pemain [Timnas Indonesia U-20] dan semua [pihak di tim] yang mempersiapkan Piala Dunia U-20 kemarin," kata Shin Tae Yong, dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (4/4/2023).
Shin Tae Yong mengatakan, alasan dibubarkannya Timnas U-20 adalah karena tim tersebut tidak memiliki misi selain Piala Dunia U-20 2023.
Diketahui, batalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia juga berdampak pada nasib timnas Indonesia U-20. Sebab, Timnas Garuda seharusnya bisa ikut berlaga di Piala Dunia U-20 2023 berkat status tuan rumah. Namun, impian untuk berjuang di ajang sepak bola junior paling bergengsi di dunia itu harus kandas.
Deretan masalah yang menghantam sepak bola Indonesia pun mengundang banyak pertanyaan dari masyarakat terkait kualitas sepak bola Indonesia. Apalagi, peringkat Indonesia di FIFA termasuk dalam level yang rendah, yakni peringkat 60 terbawah alias 151 dari 211 negara anggota FIFA.
Meskipun Indonesia mengalami kenaikan satu peringkat, yakni dari 152 menjadi 151, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga, seperti Malaysia (145), Filipina (134), Thailand (111), dan Vietnam (96).
Lantas, apa penyebab terperosoknya peringkat Indonesia di dalam daftar FIFA? Lalu apakah ada korelasi antara kemajuan ekonomi suatu negara dengan kesuksesan sepak bola?
Sebuah studi yang dipublikasikan bertajuk "Is Football an Indicator of Development at the International Level?" oleh Robert Gasquez dari University of Barcelona mengungkapkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memiliki keterkaitan erat dengan peringkat FIFA suatu negara.
Selain PDB dan IPM, penelitian itu menyebutkan bahwa faktor-faktor pembangunan lain, seperti pendidikan, kesehatan, keterbukaan perdagangan, inflasi, pertumbuhan penduduk, dan rasio investasi juga memengaruhi peringkat FIFA suatu negara.
"Hasil dari penelitian ini dapat diartikan sebagai bukti bahwa peringkat FIFA suatu negara dapat dianggap sebagai indikator pembangunan, baik dalam jangka panjang maupun pendek," sebut Gasquez dalam laporannya, dikutip Senin (4/4/2023).
Namun, penelitian Gasquez tidak nampak di Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun CNBC Indonesia, faktor ekonomi ternyata bukanlah penyebab utama rendahnya peringkat sepak bola Indonesia di dalam daftar FIFA.
Sebab, seiring dengan hasil penelitian tersebut, pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, terutama Amerika, Eropa, dan Asia, sejalan dengan perkembangan kualitas sepak bolanya. Namun, kondisi ini tidak terjadi di Indonesia.
Peringkat FIFA Indonesia selalu turun sejak 1992, padahal pertumbuhan ekonomi negara berkembang secara pesat, seperti negara dengan peringkat FIFA tinggi lainnya. Sebagai informasi, peringkat Indonesia di dalam daftar FIFA pada 1992 adalah 108. Dengan demikian, Indonesia mengalami pemerosotan hingga 43 peringkat bila dibandingkan dengan 2022.
Sebagai contoh, Indonesia, Argentina, Prancis, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Korea Selatan sama-sama mengalami perkembangan angka PDB yang signifikan dalam kurun waktu 30 tahun. Namun, dalam hal peringkat FIFA Indonesia tidak pernah mengalami nasib seberuntung negara-negara tersebut.
Padahal, angka PBD Indonesia tercatat meningkat, yakni US$138 miliar pada 1992 dan US$1,2 triliun pada 2022. Bahkan, ekonomi Indonesia pada 2022 pun berhasil tumbuh sebesar 5,31% dibanding tahun sebelumnya.