Banyak Istri Pejabat Suka Flexing, Psikolog Jelaskan Sebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena istri dan anak-anak pejabat yang gemar pamer kekayaan alias flexing tengah menjadi sorotan masyarakat. Akibat hal ini, banyak pelaku flexing yang akhirnya menutup akun media sosial mereka secara permanen karena takut akan konsekuensi dari perilaku tersebut.
Budaya pamer kekayaan sebenarnya sudah ada sejak dahulu, namun sosial media membuat perilaku ini semakin terlihat. Unggahan sosial media pelaku flexing biasanya dipenuhi barang-barang dari merek ternama, mulai dari tas Hermes, mobil sport, hingga liburan mewah di kapal pesiar.
Lalu, apa sih yang membuat seseorang gemar pamer kekayaan?
Dalam ilmu psikologi, pamer merupakan bentuk perilaku narsisme. Faktor utama yang mendorong perilaku ini adalah perasaan insecure.
Psikolog klinis Mary Kowalchyk dari New York University mengatakan bahwa "narsisme dipahami sebagai adaptasi kompensasi untuk mengatasi dan menutupi harga diri yang rendah."
"Orang narsis merasa insecure, dan mereka mengatasi perasaan ini dengan flexing. Perilaku pamer membuat orang lain kurang menyukai mereka dalam jangka panjang, ini membuat pelaku flexing semakin memperparah rasa insecure mereka sehingga ini menjadi lingkaran setan perilaku tersebut," kata Kowalchyk.
Meski demikian, secara naluriah, manusia senang memamerkan pencapaiannya di depan orang lain. Sadar atau tidak, banyak dari kita yang pernah flexing. Secara kolektif, perilaku ini membuat orang lain merasa insecure, dan akhirnya ikut-ikutan flexing.
Orang kaya yang bermoral tak suka flexing
Sementara itu, Rachel Sherman, seorang profesor sosiologi di New School for Social Research, New York, telah mempelajari kebiasaan belanja di kalangan orang kaya. Riset itu menemukan bahwa banyak di antara mereka yang sangat berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.
Dalam bukunya, Uneasy Street: The Anxieties of Affluence, Sherman mewawancarai 50 orang kaya di New York. Ternyata banyak di antara mereka yang menjalani hidup hemat dan membelanjakan uang dengan "normal."
"Orang kaya yang saya teliti sangat hati-hati dengan implikasi moral dari privilege yang mereka dapatkan," kata Sherman, yang dikutip Vice.
Salah satu responden Sherman mengaku sengaja melepas label di roti seharga US$6 atau sekitar Rp85 ribu (kurs Rp14.310/US$) yang dia beli di toko kelontong agar tak dilihat oleh babysitter mereka. Ini dilakukan karena dia merasa tidak nyaman jika ada gap besar antara keluarganya sendiri dan sang pengasuh.
"Kebiasaan hemat adalah salah satu cara kita menilai apakah orang kaya itu baik secara moral atau buruk secara moral."
(hsy/hsy)