
Banyak Aplikasi Kencan, Benarkah Cari Jodoh Jadi Lebih Mudah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dating app atau aplikasi kencan daring menjadi salah satu platform populer di tengah kehidupan masyarakat modern saat ini, terutama kalangan millenial dan Gen Z.
Sempat dianggap tabu, ternyata aplikasi kencan daring, seperti Bumble, Tinder, TanTan, Omi, OkCupid, hingga Badoo ini menjadi aplikasi andalan bagi sebagian besar orang untuk mengisi waktu luang, mencari teman baru, sampai mencari pasangan.
Berdasarkan data dari Mozillion, pada Oktober 2021 hingga Maret 2022, aplikasi kategori kencan atau dating memperoleh 450 ribu total jumlah pencarian di Google. Bahkan, Business of Apps menyebutkan bahwa para pengguna internet menghabiskan 16 persen waktunya untuk aplikasi kencan daring.
Swipe kanan, swipe kiri, jodoh datang berlari?
![]() |
Secara teknis, penggunaan aplikasi kencan daring sangatlah mudah. Usai melakukan registrasi dan mengisi sejumlah data, pengguna akan diberikan pilihan jutaan orang yang turut menggunakan aplikasi tersebut. Bila suka terhadap orang yang direkomendasikan, pengguna bisa melakukan swipe right (usap kanan) dan swipe left (usap kiri) bila sebaliknya.
Ada beberapa aspek yang menentukan seseorang akan disukai atau tidak disukai oleh pengguna lain, hal tersebut tergantung dari masing-masing preferensi, seperti tinggi badan, kebiasaan berolahraga, pendidikan, agama, pandangan politik, zodiak, hingga rencana ketika berkeluarga. Aspek tersebut tercantum di profil dan dapat diisi saat setelah registrasi.
Namun, rutinitas menggeser ibu jari ke kanan dan ke kiri di layar untuk 'menyeleksi' calon match ternyata tidak seluruhnya sesuai ekspektasi. Terlebih, setelah memperoleh banyaknya penolakan berupa ghosting, unmatch, hingga pemblokiran kontak oleh match di dating apps.
Rata-rata pengguna aplikasi kencan daring rentan mengalami stres, rasa tidak aman, frustrasi, sakit hati, hingga merasa harga dirinya hancur setelah mengalami penolakan.studi Reciprocal Self-disclosure and Rejection Strategies on Bumble |
Sebuah studi yang dipublikasikan melalui Sage Journals berjudul Reciprocal Self-disclosure and Rejection Strategies on Bumble menemukan, meskipun sejumlah interaksi melalui aplikasi kencan daring berujung pada pertemuan, sebagian besar hubungan berakhir bahkan sebelum pertemuan tatap muka terjadi.
Salah satu peristiwa ditinggalkan yang paling 'pahit' dan sering terjadi di era aplikasi kencan adalah ghosting. Menurut Koessler dalam studi yang sama, ghosting adalah strategi yang digunakan secara sepihak untuk mengakhiri hubungan dengan pasangan yang pernah memiliki ketertarikan romantis.
Akibat di-ghosting, seseorang bisa mempertanyakan value diri sendiri, seperti menyalahkan diri karena merasa kurang mampu membuat obrolan menarik, merasa penampilan kurang menarik, merasa diri kurang pantas untuk berada di suatu hubungan, hingga merasa tidak cocok berkenalan melalui aplikasi kencan daring.
Dalam studi Reciprocal Self-disclosure and Rejection Strategies on Bumble, rata-rata pengguna aplikasi kencan daring rentan mengalami stres, rasa tidak aman, frustrasi, sakit hati, hingga merasa harga dirinya hancur setelah mengalami penolakan.
Benarkah banyak orang menyerah pakai dating app?
![]() Ilustrasi kencan |
Aura (bukan nama sebenarnya) telah menggunakan aplikasi kencan daring sejak 2017 hingga 2020. Selama tiga tahun berselancar di aplikasi kencan daring, perempuan berusia 36 tahun ini telah mencoba tiga aplikasi yang berbeda, yakni salah satu aplikasi kencan berbasis web, Tinder, dan Bumble.
"[Alasan pakai aplikasi itu] gara-gara temanku ada dapet cowok Turki. Dia cerita kalo cowok Turki ganteng-ganteng dan enak diajak ngobrol karena pemikirannya setengah Asia dan setengah Eropa. Di situ kebetulan banyak bule, bisa pilih region-nya, dan enggak bayar," ungkap Aura kepada CNBC Indonesia, Senin (9/1/2023).
Pada awalnya, Aura merasa nyaman bercengkerama di dalam aplikasi kencan, namun lama-kelamaan ia merasa risih karena banyak laki-laki yang memiliki fetish aneh, padahal Aura merasa memiliki beberapa kecocokan secara intelektual.
Selain alasan fetish, Aura juga merasa kurang nyaman dengan jarak geografis yang terlalu jauh antara dirinya dan match-nya, serta merasa bosan dan hilang perasaan dengan lawan match-nya.
Setelah sempat vakum dari dunia kencan online, pada 2019 Aura akhirnya memutuskan untuk kembali menggunakan aplikasi kencan daring. Dia sempat mencoba beberapa aplikasi berbeda sampai akhirnya memutuskan untuk berhenti total. Alasan utamanya: lelah gagal membangun hubungan baru.
"Aku mulai merasa kalau ini (aplikasi kencan daring) bukan tempat untukku nyari pasangan karena ini ternyata bukan aku banget. Rasanya lelah banget sebenarnya, sih, nyari lewat dating apps gitu. Aku merasa 'Kok orang lain ketemu pasangan, gue enggak, deh?'" ungkap Aura.
Meskipun sering merasa lelah secara mental akibat penggunaan aplikasi kencan daring, Aura merasa bahwa ia jadi lebih mengenal diri sendiri setelah melewati 'petualangan'-nya berkencan di dunia maya melalui aplikasi-aplikasi tersebut. Aura merasa bahwa dirinya jadi mengetahui apa yang sebenarnya ia inginkan dan butuhkan terkait pasangan.
Berbeda dengan Aura yang menggunakan aplikasi kencan daring untuk mencari pasangan, Abbas (bukan nama sebenarnya) menggunakan Tinder pada 2019 untuk memenuhi rasa penasaran dan mencari teman berbincang.
Petualangannya di Tinder membawa laki-laki berusia 22 tahun ini bertemu dengan seseorang yang dia cari. Tak butuh lama bagi Abbas dan sang match untuk berpindah obrolan dari aplikasi WhatsApp. Sejak itu, keduanya intens berkomunikasi, mulai chatting, telepon, hingga video call.
Namun, baru satu bulan berhubungan, lawan match-nya mendadak menghilang tanpa penjelasan atau lebih populer disebut ghosting. Akibatnya, Abbas merasa sakit hati hingga mengalami dating burnout.
![]() FILE PHOTO: The dating app Tinder is shown on an Apple iPhone in this photo illustration taken February 10, 2016. REUTERS/Mike Blake/Illustration |
Sejak saat itu, Abbas memutuskan untuk berhenti bermain aplikasi kencan daring. Terlebih, ia menyadari bahwa ternyata aplikasi kencan daring tidak sehat bagi kesehatan mentalnya. Terutama bagi dirinya yang memiliki identitas biseksual.
Lain Abbas, lain pula kisah Sasha (bukan nama sebenarnya). Perempuan berusia 25 tahun ini mengaku pertama kali menggunakan aplikasi kencan daring usai putus cinta.
Namun, perjalanan mencari hubungan baru tak sesuai yang diharapkan. Sasha malah merasa kehilangan rasa percaya diri yang besar. Akibatnya, dia merasa tertekan setiap melihat pilihan orang yang ditawarkan oleh Bumble.
"Aduh, kayaknya gue enggak bisa, deh, sama orang ini,"
"Yah, dia enggak kayak mantan gue,"
"Kok dia enggak nge-chat duluan, sih? Apa gue enggak semenarik itu?"
Deretan kalimat tersebut adalah sejumlah kalimat yang Sasha sering pikirkan setiap berselancar di dunia Bumble hingga membuatnya stres.
"Berkali-kali gagal, akhirnya aku capek. Aku merasa kalau dating apps bukan hal yang cocok buat aku. Akhirnya aku setop pakai dating apps sampai sekarang," pungkas Sasha.
Stress yang dihadapi Sasha adalah salah satu tanda dating apps burnout. Psikolog sekaligus pendiri klinik Ruang Tumbuh, Irma Gustiana, menjelaskan bahwa istilah ini merujuk pada kelelahan secara mental yang dialami oleh seseorang akibat penggunaan dating apps.
"[Dating apps] Burnout adalah masalah-masalah yang terkait dengan kelelahan secara mental. [Hal itu] terjadi karena adanya hubungan yang terjalin melalui kencan yang diwadahi oleh aplikasi-aplikasi kencan," jelas Irma kepada CNBC Indonesia, Rabu (4/1/2023).
Irma menjelaskan, terdapat sejumlah faktor dan alasan yang memicu timbulnya dating apps burnout pada seseorang, antara lain:
Percakapan yang terlalu mendasar dan tidak terlalu mendalam dengan lawan bicara
Tidak merasakan adanya satu frekuensi atau menemukan ketidakcocokan terhadap masing-masing minat serta hobi, seperti musik, humor, hingga minat traveling
Munculnya rasa putus asa akibat ekspektasi terhadap seseorang tidak terpenuhi
Rasa lelah karena tidak menemukan sosok yang dicari dalam aplikasi kencan daring
Perasaan romansa tidak kunjung terbalas
Mendadak ditinggalkan oleh lawan match atau di-ghosting
Merasa rendah diri
Irma juga menjelaskan bahwa dating apps burnout dapat mengakibatkan seseorang menjadi kehilangan fokus dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Tidak hanya secara mental, dating apps burnout juga bisa berdampak terhadap kondisi fisik.
"Rasa rendah diri, kehilangan fokus, dan berdampak secara fisik, seperti sulit tidur hingga nafsu makan berkurang," sebutnya.
Bagaimana hadapi dating apps burnout?
![]() Sad woman hug her knee,nobody |
Abbas dan Sasha bukanlah segelintir contoh dari orang yang mengalami dating apps burnout. Sebab, bila merujuk pada survei aplikasi Badoo, 78 persen pengguna mengaku merasa stres dan kecewa dengan kencan mereka melalui aplikasi kencan daring yang tidak sesuai. Bahkan, 31 persen lainnya mengaku sulit mengutarakan tujuannya menggunakan aplikasi tersebut karena terlalu memikirkan opini orang lain tentangnya.
Melihat fenomena tersebut, Irma menilai kehidupan sosial yang saat ini beririsan dengan teknologi membuat seseorang lupa bahwa menemukan pasangan bukanlah proses instan.
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk bila terlanjur mengalami dating apps burnout?
Irma menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan bila mengalami dating apps burnout adalah mulai melakukan pengendalian diri, termasuk dalam menghabiskan waktu untuk bermain aplikasi kencan daring.
"Mungkin perlu membatasi diri dengan uninstall [aplikasi kencan] terlebih dulu selama satu atau dua minggu untuk detox diri, untuk mengurangi kegelisahan dan kecemasan terhadap dirinya sendiri," sebut Irma.
Burnout terjadi karena kita punya ekspektasi yang banyak sehingga itu yang membuat kita menjadi merasa diri tidak berharga ketika ekspektasi tidak sesuai.Psikolog sekaligus pendiri klinik Ruang Tumbuh, Irma Gustiana. |
Lalu, menanamkan pola pikir slow dating atau pendekatan romansa yang tidak terburu-buru juga penting untuk dilakukan sebelum dan bila sudah terlanjur mengalami dating apps burnout.
Sebab, proses pendekatan untuk mengenal satu sama lain atau PDKT merupakan salah satu hal krusial yang harus dilewati setiap pasangan. Dengan demikian, seseorang tidak akan merasa kecewa bila ekspektasinya tidak sesuai karena tidak terburu-buru ketika PDKT.
Sayangnya, sebagian besar pengguna aplikasi kencan terkesan terburu-buru untuk menjajaki tahap selanjutnya, padahal masih beberapa identitas dan karakter yang masih belum dikenali satu sama lain. Hal tersebut merupakan salah satu pemicu terjadinya burnout.
"Burnout terjadi karena kita punya ekspektasi yang banyak sehingga itu yang membuat kita menjadi merasa diri tidak berharga ketika ekspektasi tidak sesuai," pungkas Irma.
Irma menegaskan, kalau terjadi penolakan, seseorang harus menanamkan pola pikir bahwa semua terjadi di luar kendali dan bukan salah diri sendiri. Kenyataannya, setiap orang memiliki preferensi dan intensi yang berbeda dalam menggunakan aplikasi kencan.
"Perlu untuk mengafirmasikan diri sendiri, dialog kepada dirinya sendiri, [seperti mengatakan] 'saya cukup, saya berharga, dan saya menarik, tapi saat ini belum menemukan yang tepat'," kata Irma.
Irma berpesan, penting bagi calon pengguna aplikasi kencan daring untuk menerapkan pola pikir bahwa aplikasi tersebut utamanya digunakan untuk mencari relasi atau teman baru dan mengesampingkan keinginan untuk mencari pasangan. Sebab, ekspektasi yang ditimbulkan akibat keinginan mencari pasangan yang sempurna melalui aplikasi kencan dapat memicu perubahan psikologis dan fisik yang buruk.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Seperti Manusia, Orang Utan Bakal Main Tinder buat Cari Jodoh
