Penyintas Covid Harus Cek Trombosit Tiap 3 Bulan, Benarkah?

Rindi Salsabilla, CNBC Indonesia
21 December 2022 11:35
Pemeriksaan test PCR Covid-19 di salah satu Lab test Covid-19 di kawasan Cilandak, Jakarta, Kamis (16/6/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Pemeriksaan test PCR Covid-19 di salah satu Lab test Covid-19 di kawasan Cilandak, Jakarta, Kamis (16/6/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah penyintas Covid-19 ramai-ramai membahas D-Dimer atau zat yang yang terlibat dalam proses bekuan darah. Dalam topik itu, disebutkan bahwa seorang penyintas Covid-19 atau orang yang sudah divaksin harus rutin memeriksa agregasi trombosit per tiga bulan sekali. Selain agregasi trombosit, D-Dimer juga harus diperiksa setiap enam bulan sekali.


Lantas, benarkah agregasi trombosit dan D-Dimer harus rutin diperiksa dalam jangka waktu tersebut?


Konsultan Hematologi dan Onkologi, Profesor Zubairi Djoerban mengatakan, baru-baru ini terdapat sebuah studi baru yang menyatakan bahwa vaksin dapat menyebabkan kelainan pembekuan darah. 


"Tapi kejadiannya amat jarang dan jumlahnya juga tidak banyak. Penelitian ini diterbitkan di British Medical Journal (The BMJ)," tulis Profesor Zubairi melalui akun Twitter pribadinya, Selasa (20/12/2022).


Studi tersebut menunjukkan bahwa setelah seseorang mendapat vaksinasi dengan vaksin yang mengandung Adenovirus, terdapat kenaikan risiko terjadinya Thrombosis Thrombocytopenia Syndrome (TTS) atau bekuan dengan trombosit rendah.


Profesor Zubairi menjelaskan, TTS terjadi bila seseorang mengalami trombosis dan sekaligus trombosit rendah, yaitu kondisi yang sangat jarang terjadi dan berbeda daripada kondisi pembekuan lainnya, seperti Deep Vein Thrombosis (DVT) atau emboli paru.


"Namun, para peneliti menekankan sindroma ini sangat jarang [terjadi]. Efek samping yang jarang ini terjadi dari vaksin yang mengandung Adenovirus [atau] jenis vaksin yang memanfaatkan virus dilemahkan untuk merangsang respons imun terhadap SARS-CoV-2," jelas Profesor Zubairi dalam utasnya.

"Data ini berdasarkan data dari beberapa negara Eropa dan Amerika yang menunjukkan memang ada risiko kenaikan sedikit (pembekuan). Data ini merupakan sampel orang-orang yang menerima dosis pertama vaksin Covid-19. Salah satunya vaksin Oxford-AstraZeneca," lanjutnya.


Lalu, bagaimanakah dengan angka kejadian TTS di Indonesia?


Profesor Zubairi mengaku belum mengetahui data pasti TTS di Indonesia. Namun, ia menegaskan bahwa vaksin pertama yang digunakan sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu Sinovac, bukan merupakan vaksin yang dibahas dalam penelitian tersebut.


"Jadi relatif aman, karena kita, kan, memakai Sinovac," terang Profesor Zubairi.


Dalam utasnya, Profesor Zubairi pun menanggapi isu yang mengatakan bahwa seorang penyintas Covid-19 atau orang yang sudah divaksin harus rutin memeriksa agregasi trombosit per tiga bulan sekali dan D-Dimer setiap enam bulan sekali


"Rumor penyintas Covid-19 dan yang sudah vaksin harus cek agregasi trombosit atau cek D-dimer, tidaklah pas. Kalau terkait studi ini yang harus diperiksa ya ada tidaknya trombosis dan ada tidaknya bersamaan dengan trombositopenia-jumlah trombosit yang rendah," papar pendiri Yayasan Lupus Indonesia (YLI) ini.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular