
Gen Z Mau 'Quiet Quitting'? Perhatikan Dulu 3 Hal Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Istilah 'quiet quitting' semakin populer di kalangan warganet, terlebih saat salah satu pengguna TikTok, @zaidleppelin, menegaskan bahwa "Bekerja bukanlah kehidupanmu."
Budaya jam kerja yang panjang sering kali membuat seorang pekerja merasa burnout atau stres dan lelah secara mental serta fisik sehingga 'quiet quitting' seolah menjadi tren baru di kalangan para pekerja. Lantas, apa itu 'quiet quitting'?
'Quiet quitting' adalah istilah yang merujuk pada perilaku seseorang yang menolak melakukan pekerjaan secara ekstra, salah satunya melakukan perintah di luar tugas pekerjaannya. Dalam penerapannya, seseorang menetapkan sejumlah batasan ketika bekerja, seperti enggan menerima permintaan bekerja di luar jam yang telah ditentukan, mengerjakan tugas sesuai dengan porsinya, hingga selesai bekerja tepat waktu.
Jaya Dass, direktur pelaksana Randstad untuk Singapura dan Malaysia, memandang bahwa quiet quitting adalah "dampak sisa" dari Covid-19 dan fenomena resign massal.
"Apa yang dulunya dianggap tindakan pasif agresif dari work-life balance sekarang menjadi permintaan yang sangat tegas," katanya.
Akan tetapi, 'quiet quitting' ternyata tidak selamanya baik untuk dilakukan. Berikut tiga cara yang dapat Anda lakukan untuk menghindari burnout selama bekerja:
1. Efisiensikan Waktu Bekerja
Meraih keseimbangan antara bekerja dan kehidupan sosial merupakan hal yang penting. Namun, Michael Timmes, senior spesialis sumber daya manusia Insperity menekankan bahwa Anda tetap harus serius dalam melakukan pekerjaan yang ada.
"Bila Anda ingin menerapkan 'quiet quitting', maka jam bekerja normal Anda harus dimaksimalkan sebaik mungkin. Dengan demikian, Anda tetap bisa mengasah kreativitas dan keterampilan diri yang bisa membawa banyak kebahagiaan," jelas Michael dikutip dari CNBCÂ Internasional.Â
2. Cari Tahu Penyebab 'quiet quitting'
Mentor karier, Kelsey Wat, mengungkapkan bahwa orang-orang yang menerapkan 'quiet quitting' justru diam-diam jadi merasa kesal berlebih terhadap atasan mereka.
Namun di samping itu, Dr. Natalie Baumgartner, salah satu psikolog dan pakar perilaku mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya 'quiet quitting' adalah perasaan kurang dihargai setelah melakukan banyak pekerjaan.
"Tidak ada seseorang pun merasa senang jika tidak dihargai atas usahanya. Hal tersebut bukanlah kondisi yang diinginkan oleh manusia," tegas Baumgartner.
Dalam mengatasi hal tersebut, Dass dari Randstad mengatakan bahwa karyawan harus mencari tahu alasan mengapa mereka merasa lelah dan menerapkan 'quiet quitting'. Sebab, 'quiet quitting' tidak berdampak baik secara jangka panjang terhadap karier.
3. Bicarakan Baik-baik dengan Atasan, Bukan Melalui Media Sosial
Saat ini, banyak sekali pekerja yang mengeluhkan pekerjaannya sekaligus menunjukkan bahwa mereka menerapkan 'quiet quitting' di media sosial, padahal sebaiknya mereka membicarakannya secara langsung kepada atasan.
"Hal yang sebenarnya menakutkan tentang fenomena 'quiet quitting' adalah orang yang mengetahui permasalahan Anda justru mereka yang tidak berada di lingkungan kerja Anda" ujar Dass.
Jika Anda merasa kurang dihargai di tempat bekerja, alangkah baiknya bila langsung dibicarakan dengan kolega dan/atau atasan Anda meskipun itu adalah perbincangan yang kurang mengenakkan.
"Sebagai manusia, kita memiliki keinginan untuk dipahami terkait apa yang sebenarnya dirasakan dan dibutuhkan oleh orang lain. Selain itu, bila memberikan masukan kepada kolega, akan lebih baik bila dikatakan secara spesifik," jelas Baumgartner.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lagi Viral Quiet Quitting, Ini Saran Ahli Agar Karir Aman