Lagi Viral Quiet Quitting, Ini Saran Ahli Agar Karir Aman

Jakarta, CNBC Indonesia - Istilah 'quiet quitting' tengah ramai jadi pembahasan di kalangan para pekerja millennial dan Gen Z.
Sebenarnya, tidak ada definisi tunggal dari istilah 'quiet quitting'. Bagi sebagian orang, 'quiet quitting' berarti menetapkan batasan dan tidak melakukan pekerjaan tambahan; bagi orang lain, 'quiet quitting' berarti tidak ambisius. Namun, sebagian besar setuju bahwa 'quiet quitting' tidak berarti Anda meninggalkan pekerjaan.
Maggie Perkins, seorang guru berusia 30 tahun, mengaku sudah melakukan 'quiet quitting' sejak 2018, bahkan sebelum itu menjadi tren TikTok.
"Tidak ada alasan bagi saya untuk bekerja ambisius karena sebagai guru, tidak ada kesempatan promosi. Jika Anda memenangkan penghargaan sebagai teacher of the year, [Anda akan] mendapatkan gaji yang sama dengan guru lain yang tidak dapat penghargaan," kata ibu berusia 30 tahun itu, dikutip dari CNBC Maket It.
Lewat video TikTok, Perkins berbagi kisahnya melakukan quiet quitting sebagai seorang guru.
"Saya tidak menjadi sukarelawan untuk komite. Saya tidak lembur dan melakukan pekerjaan tambahan. Saya hanya mengajar kelas saya, dan saya adalah guru yang baik," katanya, dalam sebuah wawancara virtual.
Lalu, bagaimana pendapat para ahli soal tren quiet quitting? Apakah baik untuk karir?
Jaya Dass, direktur pelaksana Randstad untuk Singapura dan Malaysia, memandang bahwa quiet quitting adalah "dampak sisa" dari Covid-19 dan fenomena resign massal.
"Apa yang dulunya dianggap tindakan pasif agresif dari work-life balance sekarang menjadi permintaan yang sangat tegas," katanya.
Kelsey Wat, seorang pelatih karir setuju dengan pendapat Dass. Dia mengatakan quiet quitting sekarang merupakan cara bagi pekerja untuk "bertahan" di perusahaan yang melihat mereka "sebagai roda penggerak dalam mesin", sementara mereka belum bisa menemukan pekerjaan baru yang lebih cocok.
Namun, quiet quitting secara teori dan praktik dapat berbeda-beda untuk setiap individu.
Para ahli mengatakan konsep ini mengkhawatirkan karena dapat melampaui tujuan mendapatkan work-life balance.
"Sebagian besar dari kita ingin merasa bangga dengan pekerjaan yang kita lakukan dan kontribusi yang kita buat. Kami ingin melihat dampak kami dan merasa senang dengan hal itu. Quiet quitting tidak memungkinkan untuk itu."
Dia lebih menyarankan agar pekerja menetapkan batasan yang sehat dan tetap berinvestasi secara emosional di tempat kerja mereka.
Perlu diingat, ada juga hal negatif dari quiet quitting, seperti kurangnya motivasi, kurangnya fleksibilitas dan ketidakmampuan untuk bekerja dalam tim.
Gaji Rp 2,3 M per Bulan, Milenial Ini Bagi 4 Kunci Suksesnya
(hsy/hsy)