Naik Pesawat & Kereta Tak Lagi Harus PCR, Waspadai Risiko Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini, Pemerintah mulai menerapkan kebijakan transisi dari pandemi menjadi endemi dengan tidak lagi mewajibkan rapid test antigen maupun PCR bagi pelaku perjalanan dalam negeri. Kebijakan itu berlaku bagi masyarakat yang sudah menjalani vaksin COVID-19 sampai dosis kedua maupun booster.
Meski banyak masyarakat yang menyambut gembira kabar tersebut, masih ada risiko penularan Covid yang harus diwaspadai. Sebab, sejumlah pakar berpendapat bahwa ancaman Covid-19 di dalam negeri sebenarnya masih tinggi, meski pemerintah mengklaim jumlah kasus sudah turun.
Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono menegaskan yang paling penting bukanlah jumlah kasus, melainkan positivity rate yakni perbandingan jumlah kasus positif dengan jumlah tes yang dilakukan. Ia khawatir, angka kasus baru yang diklaim turun dari ke hari tersebut sebenarnya disebabkan rendahnya contact tracing.
"Kasusnya sekarang masih 30 ribu kemudian positivity rate-nya itu masih di atas 5 persen. Kalau mau (kasus) bertambah, silakan nggak pakai antigen. Kalau kasusnya mau banyak lagi, ya begitu," ujar Miko, seperti dikutip detikcom, Senin (7/3).
Sementara itu, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai sedari awal kebijakan penapisan atau screening dengan tes antigen atau PCR bagi pengguna moda transportasi bukanlah metode pencarian kasus Covid-19 yang sesuai kaidah epidemiologi. Menurutnya, teknik pengetesan dan telusur yang benar adalah dengan melakukannya secara masif di permukiman padat penduduk dengan mobilitas tinggi serta kontak erat kasus Covid-19.
"Testing (harusnya) dilakukan secara systematic random testing kepada komunitas yang dinilai berisiko," kata Hermawan, seperti dikutip dari CNN Indonesia.
(hsy/hsy)